Nikah Itu Butuh Ilmu

Nikah Itu Butuh Ilmu

Hampir tiga harian timeline sosyiel media saya kebanjiran tipe-tipe begitu tuh. Tipi isti/siimi idimin kimi sipiti ipi? Hahahaa –maap saya kelepasan. Tipe istri –dan atau- suami adalah standar yang ditetapkan oleh masing-masing personal (ada juga turut serta keluarga dan kultural) dalam mencari atau memilih pasangan hidup untuk diajak membangun bahtera seumur hidup. Saya ingin mengulas sedikit persoalan yang cukup greget dari persiapan pemilihan calon suami pun calon istri, khususnya perempuan yang berpendidikan. Menjadi perempuan yang memiliki rekam jejak studi cukup panjang acap kali  bersinggungan dengan konstruksi sosial miring –terutama mas-mas- yang akan mempersuntingnya untuk menjadi pasangan hidup. Alih-alih masak sih doi lebih pinter dari aku; ntar aku yang jadi budaknya lagi; walah aku yo minder toh, menjadi alasan klasik yang nyaring sekali. Seakan-akan perempuan kodratnya harus “dibawah” laki-laki, sehingga memperistri sarjana;magister;bahkan doktor adalah momok yang menakutkan bagi laki-laki yang berkelas –maaf- teri di dalam sego kucing angkringan malbor. Udah kecil, terus dikit banget lagi.  

Apa Kabar Nalar Egalitarian Orangorang?

Apa kaitannya dengan nalar egalitar? lah iyo jelas berkaitan. Mana mungkin ada pelanggengan pemahaman semacam itu –cara pikir mas-mas- kalau bukan dipengaruhi oleh rendahnya rasio kesetaraan di dalam hidup keseharian. Saya pikir –menurut saya loh ya- tirani pemikiran semacam ini sudah selesai masanya, tapi nyatanya tidak. Bobrok, yah.  Tau itu semua berasal dari mana? dari pola penafsiran teks-teks agama yang cenderung parsial, tidak holistik dan tidak komprehensif. Beberapa narasi yang digunakan untuk mendukung premis tersebut diantaranya seperti penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok, pesona perempuan yang dapat menjerumuskan laki-laki, perempuan sebagai mayoritas penghuni neraka, kewajiban keluar rumah dengan mahram, kewajiban taat banget banget banget pada suami, hingga pelaknatan bagi perempuan yang enggan melayani suami. Perempuan perempuan dan perempuan, enek ga sih?. Seharusnya perempuan dipandang sebagai pribadi yang utuh dan merdeka, yang sama halnya dengan laki-laki yang dapat memberikan sumbangsihnya untuk kemajuan terhadap peradaban. Sedihnya lagi agama selalu dijadikan sebagai dalih pembenaran atas rentetan klaim yang sudah saya sindir sebelumnya. “Lah wong ada dalilnya o” iyaaa mas iyaaa paham, dalilnya ada namun bukankah persoalan penafsiran teks keagamaan semacam itu juga multitafsir dan mengikuti kultural budaya dimana ayat itu diturunkan? Jadi tidak berlebihan rasanya pertanyaan saya soal “apa kabar” dengan nalar-nalar egaliter yang penuh dengan keramahan sebagaimana Islam menuntunnya. Anggap saja saya sedang menyapa sahabat lama.

Kaitannya dengan tajuk yang saya hadirkan adalah betapa lemahnya nilai-nilai profetik dan cara pandang visioner sebagai seorang manusia. Saya pikir lagi –mungkin bisa saja ini salah- bahwa ketakutan-ketakutan mereka terhadap perempuan yang berpendidikan tinggi bukan semata “minder” tapi tidak ingin martabatnya sebagai seorang laki-laki yang superior rendah dimata perempuan-nya. Maka tak asing ditelinga kita falsafah hidup keluarga “mas-mas” yaitu dapur – sumur – kasur. Sebenarnya semboyan ini tidak terlalu menafikan perempuan, karena memang sejatinya peran perempuan tidak bisa dilepaskan dari tiga framing ini. Namun, jika lirik ini senantiasa nyaring secara otomatis penirsubstansian perempuan tidak berhak;tidak patut;tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi akan semakin merajai dunia.

Kesalingan: Tatanan Normal Baru Relasi Laki-laki dan Perempuan.

Kita hanya perlu sebuah pemahaman baru, cara pandang baru dan tatanan kehidupan baru yang ramah terhadap perempuan juga laki-laki tentunya. Kang Faqih bilang hidup ini flat jika hanya menjurus persoalan dari satu kacamata saja, maka terbesit sebuah gagasan visioner yang ramah terhadap laki-laki juga perempuan. Mubadalah sebagai konseptual baru –sebenarnya sudah lama, namun tersembunyi oleh hegemoni klasik patriarki- yang perlu dikulik oleh para “mas-mas” yang masih menomorduakan pendidikan perempuan-nya. Konsep kesalingan ini menuntun laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang bermartabat seimbang dalam segala aspek. Jika laki-laki (suami) berhak atas pendidikan tingginya dengan gelar dan jabatan mentereng, pun hal yang sama juga harus diberikan kepada perempuan. Pernikahan tidak serta merta menjadikan perempuan terbelenggu dengan aturan-aturan klasik yang sejatinya dapat di musyawarahkan sebagaimana konsep pernikahan yang juga digagas oleh teori mubadalah ini.

Nikah Itu Butuh Ilmu

Oke, kita sudahi sentimen ala-ala ini. Hehe. Begini, menikah itu butuh ilmu, segala hal di dalamnya butuh ilmu, karena manual book tentang menjadi suami istri itu tidak ada, semua di dapat dari pemahaman yang dibangun melalui ilmu. Bayangkan, mulai dari malam pertama, bukankah itu butuh ilmu tentang jima’ mandi junub doa-doa dan amalan sebelumnya. Ketika masa kehamilan, persalinan sampai kepada mengurus anak. Sepakat dengan gagasan yang dibangun oleh Pak Ghifar dalam tulisannya “Perempuan Wajib Berpendidikan Tinggi” di platform rahma.id. Dalam hukum mukhalaf wajib sudah menjadi perintah yang amat sangat tegas, tanpa pemakluman. Bahwa perempuan akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Walau bagaimanapun katanya, perempuan memiliki kodrat untuk menjadi seorang ibu, yang akan membawa peran penting dalam kehidupan regenerasi keturunannya. Pengiringan opini ini bukan menandakan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi adalah mereka yang dilema terhadap kisah cintanya akibat banyaknya laki-laki satu per satu minder, namun lebih jauh memiliki deep-value terkait sebuah upaya rekonstruksi pemahaman relasi laki-laki dan perempuan yang sejatinya adalah seimbang, baik hak maupun kewajiban. Dalam ranah domestik maupun publik.//yul-tulisan ini senada dengan postingan penulis yang juga dipublish oleh rahma.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *