Mahar Produktif Sebagai Pengembangan Perekonomian Keluarga Samawa

Mahar Produktif Sebagai Pengembangan Perekonomian Keluarga Samawa

Agaknya ada yang salah kaprah dalam masyarakat saat memaknai mahar pernikahan. Umumnya, harga mahar tidak jauh lebih mahal ketimbang persewaan terop, sound system, atau perak-pernik pernikahan yang lain. Sementara kuantitas sekaligus kaulitas mahar jarang sekali diperhatikan. Padahal jika menganut fikih dominan di Indoesia (fikih Syafi’i) atau merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami.

Ala kadarnya mahar yang sering penulis temui menunjukkan bahwa mahar masih dipahami dalam ranah konsumtif, bukan produktif. Beberapa contoh nyata terlihat mengamini ide konsumtif mahar, seperti mahar dengan seperangkat alat shalat –yang ini seringkali dipertontokan di sinteron-sinetron tanah air-, atau hanya berupa sandal yang pernah viral di media sosial-meskipun salah satu mazhab membolehkannya. Ini adalah bukti bahwa masih banyak yang belum memahami fungsi dan esensi mahar.

Dalam sejarahnya, mahar perkawinan pada masa Jahiliyah tidak bisa dimiliki sepenuhnya oleh perempuan. Pihak wali lah yang mengambil alih hak itu. Bahkan perempuan juga bisa menjadi komoditi mahar. Hal ini terjadi karena mahar hanya dianggap sebagai alat transaksi perkawinan untuk mendapatkan wanita, bukan untuk memuliakan perempuan. (Baca juga: Quraish Shihab: Mahar itu Hak Istri tapi Bukan Harga Seorang Wanita)

Lalu ketika Islam datang, peruntukan, komoditas, dan esensi mahar diubah. Islam lalu menetapkan hak mahar sepenuhnya kepada wanita. Komoditasnya pun juga dibatasi, yaitu sesuatu yang memiliki nilai manfaat. Esensinya pun juga ditranformasikan ke bentuk upaya penghormatan dan pemuliaan terhadap perempuan.

Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mahar adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga di depan publik. Mahar juga merupakan bentuk bukti kemampuan seorang laki-laki menafkahi wanita secara lahir dan batin.

Dalam fikih, justru perdebatan komoditas mahar lah yang cukup menarik, baik mengenai kualitas maupun kuantitas mahar. Secara umum ulama’ menetapkan bahwa mahar harus dapat dimiliki dan diperjualbelikan, maka barang yang haram tidak boleh. Mahar juga harus jelas, baik berupa barang atau jasa. Mahar juga harus terbebas dari bentuk penipuan apapun.

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa mahar adalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat, baik berupa jasa atau benda, sedikit atau banyak. Sementara Malikiyyah berpandangan bahwa mahar hanya lah berupa benda yang indrawi dan memiliki nilai manfaat. Sedangkan jasa tidak dapat dijadikan mahar. Dari sini ada indikasi bahwa mahar itu bersifat produktif.

Jika melacak lebih jauh, beberapa hadis nabi mengisyaratkan produktifitas mahar. Sebagaimana diriwayatkan Abu Salamah dalam sunan Ibnu Majah, mahar Nabi menikahi istri-istrinya sebesar 500 dirham. Jika dirupiahkan sekira 50-an juta lebih. Dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas menuturkan bahwa sahabat Tsabit bin Qais menikahi istrinya dengan mahar sebuah kebun.

Ada juga riwayat yang ditemukan dalam Sunan Abu Dawud yang menunjukkan, sebagaimana dikisahkan oleh Uqbah bin Amir, mahar salah satu sahabat senilai 100 dirham. Hitungan ini diperoleh dari hasil penjualan mahar sebidang tanah dari Uqbah. Kalau dirupiahkan setara dengan 414-an juta. (Baca juga: Bukan Emas, Ini Mahar Pernikahan Adam dan Hawa.)

Dengan demikian, maka komoditas mahar yang dinarasikan dalam hadis, baik dalam bentuk uang atau tanah merepresentasikan nilai produktifitas mahar. Mengapa? Jumlah uang yang besar akan membantu perempuan untuk bisa berkarir dan berdaya mandiri tanpa mengandalkan penghasilan suami. Tanah yang luas juga akan mampu menghasilkan nilai tambah perekonomian ketika dikelola dengan baik.

Lalu, bagaimana dengan riwayat yang membolehkan mahar hanya dengan cincin dari besi. Mengenai ini, Ibnu ‘Arabi -Ulama’ Malikiyyah, berpendapat bahwa perintah untuk mencari cincin saat itu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Namun ternyata tidak ada satupun benda yang ditemukan termasuk cincin. Maka, dapat dipahami bahwa kadar minimal mahar dalam hal ini karena adanya ketidaksanggupan memenuhi standar mahar yang dianjurkan saat itu sehingga kebolehan mahar dengan jasa pengajaran Al-Qur’an-bisa dipahami- hanya dalam keadaan tertentu.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) justru menegaskan kesederhanaan mahar karena itulah yang menurutnya dianjurkan oleh Islam. Kenyataan ini sebenarnya memicu banyaknya praktik mahar konsumtif. Ini memang tidak salah. Namun, ini hanya kurang etis untuk memuliakan seorang perempuan. Apalagi untuk menjamin kehidupannya. Padahal Islam tidak benar-benar menegaskan kesederhanaan mahar. Yang justru ditegaskan adalah kemanfaatan dan produktifitasnya.

Ketika seorang perempuan mendapatkan mahar produktif, mahar yang mutlak menjadi haknya bisa membantu untuk pemenuhan pendidikan bagi anak-anak, devisa rumah tangga, serta ekonomi masa depan rumah tangga, jika ia mau ikut berkontribusi dalam hal finansial. Sehingga, perempuan bisa mendapatkan kontrol yang lebih banyak terhadap kondisi dan keadaan hidupnya untuk bisa lebih membantu pemberdayaan keluarga dan perekonomiannya.

Mahar produktif dapat dirupakan dengan wujud apapun yang bisa menghasilkan nilai tambah dan menghasilkan keuntungan ketika dimiliki oleh istri. Bukan hanya sekedar pamer kemewahan, tetapi juga demi asset bersifat statis; tidak bergerak dan tidak menghasilkan apapun. Baik benda dan jasa bisa digunakan sebagai mahar produktif.

Beberapa contoh mahar produktif yang berupa benda misalnya emas, saham, hotel, rumah atau vila yan disewakan. Sedangkan untuk contoh mahar berupa jasa misalnya mengajari istri untuk berwirausaha, mengelola perusahaan, atau jenis mahar yang lain. Ini hanya beberapa contoh saja. Langkah ini setidaknya akan mampu meningkatkan perekominan keluarga secara lebih kreatif dan mandiri.

Gerakan mahar produktif agaknya perlu disosialisasikan. Tujuannya, agar setiap lelaki yang hendak menikah bisa mempersiapkan jauh-jauh hari untuk meminang perempuan pilihannya. Apakah pantas jika mahar hanya sekedar konsumtif sedangkan perempuan itu akan dimiliki seumur hidup? Ini setidaknya yang dapat direnungkan. (AN)

Wallahu A’lam.

___________________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Nikah Itu Butuh Ilmu

Nikah Itu Butuh Ilmu

Hampir tiga harian timeline sosyiel media saya kebanjiran tipe-tipe begitu tuh. Tipi isti/siimi idimin kimi sipiti ipi? Hahahaa –maap saya kelepasan. Tipe istri –dan atau- suami adalah standar yang ditetapkan oleh masing-masing personal (ada juga turut serta keluarga dan kultural) dalam mencari atau memilih pasangan hidup untuk diajak membangun bahtera seumur hidup. Saya ingin mengulas sedikit persoalan yang cukup greget dari persiapan pemilihan calon suami pun calon istri, khususnya perempuan yang berpendidikan. Menjadi perempuan yang memiliki rekam jejak studi cukup panjang acap kali  bersinggungan dengan konstruksi sosial miring –terutama mas-mas- yang akan mempersuntingnya untuk menjadi pasangan hidup. Alih-alih masak sih doi lebih pinter dari aku; ntar aku yang jadi budaknya lagi; walah aku yo minder toh, menjadi alasan klasik yang nyaring sekali. Seakan-akan perempuan kodratnya harus “dibawah” laki-laki, sehingga memperistri sarjana;magister;bahkan doktor adalah momok yang menakutkan bagi laki-laki yang berkelas –maaf- teri di dalam sego kucing angkringan malbor. Udah kecil, terus dikit banget lagi.  

Apa Kabar Nalar Egalitarian Orangorang?

Apa kaitannya dengan nalar egalitar? lah iyo jelas berkaitan. Mana mungkin ada pelanggengan pemahaman semacam itu –cara pikir mas-mas- kalau bukan dipengaruhi oleh rendahnya rasio kesetaraan di dalam hidup keseharian. Saya pikir –menurut saya loh ya- tirani pemikiran semacam ini sudah selesai masanya, tapi nyatanya tidak. Bobrok, yah.  Tau itu semua berasal dari mana? dari pola penafsiran teks-teks agama yang cenderung parsial, tidak holistik dan tidak komprehensif. Beberapa narasi yang digunakan untuk mendukung premis tersebut diantaranya seperti penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok, pesona perempuan yang dapat menjerumuskan laki-laki, perempuan sebagai mayoritas penghuni neraka, kewajiban keluar rumah dengan mahram, kewajiban taat banget banget banget pada suami, hingga pelaknatan bagi perempuan yang enggan melayani suami. Perempuan perempuan dan perempuan, enek ga sih?. Seharusnya perempuan dipandang sebagai pribadi yang utuh dan merdeka, yang sama halnya dengan laki-laki yang dapat memberikan sumbangsihnya untuk kemajuan terhadap peradaban. Sedihnya lagi agama selalu dijadikan sebagai dalih pembenaran atas rentetan klaim yang sudah saya sindir sebelumnya. “Lah wong ada dalilnya o” iyaaa mas iyaaa paham, dalilnya ada namun bukankah persoalan penafsiran teks keagamaan semacam itu juga multitafsir dan mengikuti kultural budaya dimana ayat itu diturunkan? Jadi tidak berlebihan rasanya pertanyaan saya soal “apa kabar” dengan nalar-nalar egaliter yang penuh dengan keramahan sebagaimana Islam menuntunnya. Anggap saja saya sedang menyapa sahabat lama.

Kaitannya dengan tajuk yang saya hadirkan adalah betapa lemahnya nilai-nilai profetik dan cara pandang visioner sebagai seorang manusia. Saya pikir lagi –mungkin bisa saja ini salah- bahwa ketakutan-ketakutan mereka terhadap perempuan yang berpendidikan tinggi bukan semata “minder” tapi tidak ingin martabatnya sebagai seorang laki-laki yang superior rendah dimata perempuan-nya. Maka tak asing ditelinga kita falsafah hidup keluarga “mas-mas” yaitu dapur – sumur – kasur. Sebenarnya semboyan ini tidak terlalu menafikan perempuan, karena memang sejatinya peran perempuan tidak bisa dilepaskan dari tiga framing ini. Namun, jika lirik ini senantiasa nyaring secara otomatis penirsubstansian perempuan tidak berhak;tidak patut;tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi akan semakin merajai dunia.

Kesalingan: Tatanan Normal Baru Relasi Laki-laki dan Perempuan.

Kita hanya perlu sebuah pemahaman baru, cara pandang baru dan tatanan kehidupan baru yang ramah terhadap perempuan juga laki-laki tentunya. Kang Faqih bilang hidup ini flat jika hanya menjurus persoalan dari satu kacamata saja, maka terbesit sebuah gagasan visioner yang ramah terhadap laki-laki juga perempuan. Mubadalah sebagai konseptual baru –sebenarnya sudah lama, namun tersembunyi oleh hegemoni klasik patriarki- yang perlu dikulik oleh para “mas-mas” yang masih menomorduakan pendidikan perempuan-nya. Konsep kesalingan ini menuntun laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang bermartabat seimbang dalam segala aspek. Jika laki-laki (suami) berhak atas pendidikan tingginya dengan gelar dan jabatan mentereng, pun hal yang sama juga harus diberikan kepada perempuan. Pernikahan tidak serta merta menjadikan perempuan terbelenggu dengan aturan-aturan klasik yang sejatinya dapat di musyawarahkan sebagaimana konsep pernikahan yang juga digagas oleh teori mubadalah ini.

Nikah Itu Butuh Ilmu

Oke, kita sudahi sentimen ala-ala ini. Hehe. Begini, menikah itu butuh ilmu, segala hal di dalamnya butuh ilmu, karena manual book tentang menjadi suami istri itu tidak ada, semua di dapat dari pemahaman yang dibangun melalui ilmu. Bayangkan, mulai dari malam pertama, bukankah itu butuh ilmu tentang jima’ mandi junub doa-doa dan amalan sebelumnya. Ketika masa kehamilan, persalinan sampai kepada mengurus anak. Sepakat dengan gagasan yang dibangun oleh Pak Ghifar dalam tulisannya “Perempuan Wajib Berpendidikan Tinggi” di platform rahma.id. Dalam hukum mukhalaf wajib sudah menjadi perintah yang amat sangat tegas, tanpa pemakluman. Bahwa perempuan akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Walau bagaimanapun katanya, perempuan memiliki kodrat untuk menjadi seorang ibu, yang akan membawa peran penting dalam kehidupan regenerasi keturunannya. Pengiringan opini ini bukan menandakan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi adalah mereka yang dilema terhadap kisah cintanya akibat banyaknya laki-laki satu per satu minder, namun lebih jauh memiliki deep-value terkait sebuah upaya rekonstruksi pemahaman relasi laki-laki dan perempuan yang sejatinya adalah seimbang, baik hak maupun kewajiban. Dalam ranah domestik maupun publik.//yul-tulisan ini senada dengan postingan penulis yang juga dipublish oleh rahma.id

Jangan Salah Pilih Pasangan: Ini Bukan Sinetron

Jangan Salah Pilih Pasangan: Ini Bukan Sinetron

Selepas kelas Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, seorang teman diskusi saya dikelas mengajak saya untuk menghabiskan waktu istirahat siang sambil menunggu waktu sholat dzhuhur dan mata kuliah selanjutnya dengan makan siang di salah satu warung makan indomie, atau warmindo. Mahasiswa-mahasiswa jogja udah gak asing lagi dengan angkringan semacam ini. Menggugah selera dan bersahabat di kantong para anak rantauan tentunya. Mba Ulfa namanya. Perantau intelektual ini dari Medan, pintar tidak kepalang. Menempuh strata dua di dua Universitas ternama di Jogja sekaligus, tuh isi kepala apa gak keblenger yak. Yassalaaam.. Sukses selalu, semoga Allah Memberkahi ilmu dan amalanmu.

“eh mba yul” sembari menunggu pesanan magelangan spesial, kita yang di Sumatera mengenalnya dengan minas, mie nasi goreng. Awalnya, saya juga mengira bahwa magelangan itu satu makanan khas dari Kota Magelang, salah satu kota yang berbatasan dengan Yogyakarta. Lah ternyata, Cuma nasi goreng yang dikasih mi indomie goreng dengan irisan timun, tomat dan kerupuk sebagai kriuk-kriuknya. Udah ah, yang penting makan. “aku mau tanya dong, motivasi mba yulmitra lanjut studi lagi apa?” belum selesai saya tertawa geli dengan pertanyaan frontal beliau, dan belum menyiapkan jawaban yang santuy, beliau udah menebak, “Pasti buat naikin harga mahar kan? Di Minang kan gitu kan ya?” Hahahahha ketawa saya semakin terbahak.

“Emang, nilai mahar itu ditentukan dari jenjang pendidikan terakhir kita ya mba?”

“biasanya sih gitu, soalnya dikampung ku tuh gitu, selain pendidikan, pekerjaan calon pasangan terutama perempuan itu sangat menentukan harga mahar yang harus dibayarkan oleh calon suami nantinya, setau ku di Minang yang lebih kental dengan budaya “membeli” nya juga begitu.” Katanya.

“Ah gak juga ah” jawaban saya singkat saja. Karena memang, saya takut menyampaikan sesuatu yang tidak secara konkrit saya ketahui, karena berhubung waktu mendalami adat dan budaya di Minangkabau terbilang tidak terlalu lama, empat tahun tidak sampai. Sedangkan adat dan budaya yang tidak sedikit harus diselami seutuhnya untuk melahirkan sebuah standing oppinion. “begini mba, di Minangkabau itu ada slogan adat salingka nagari, tidak semua adat yang kebetulan mba Ulfa pahami barusan juga berlaku di lingkungan adat saya, makanya jawaban saya begitu”

“ohhh okeeei” jawaban beliau lebih singkat dari jawaban saya sebelumnya. Hahaha ya berhubung magelangan kita udah siap santap, diskusi mlimpir kita sudahi dulu. Ehe

“eh trus mba” eh saya fikir dengan jawaban singkat beliau diskusi ala-ala kita udahan, ternyata Cuma iklan. “calon suami mba tuh gimana sih pengennya? Secara, biasanya nih orang-orang yang berperawakan seperti mba, ada beberapa list yang pakem banget dalam menentukan calon pasangan kan ya? Trus, kalau misalnya mba nya menjalani ta’aruf atau dijodohin gitu sama orang tua atau sama kiyai atau sama siapapun, harusnya gimana?”

“lah, bentar-bentar, emang saya orangnya gimana, perawakan seperti saya? Saya berbeda ta? Mba mau ngejodohin saya ta? ” hahahaha tawa kami pecah. Magelangan kami habis, adzan pun berkumandang dari masjid Ash-Siddiqi ujung jalan sana. Kami akhiri makan siang dan perjumpaan kami siang itu, beliau ada urusan sedikit ke kampus, dan saya langsung balik ke kos-kosan. Saya tak langsung menjawab pertanyaan beliau, karena saya rasa memang jawaban adalah jawaban yang sudah saya diskusikan dengan hati dan fikiran saya. Dan memang, bukan satu dua kali pertanyaan itu tertuju pada saya, dan saya selalu tak tahu mau menjawab apa. Karena saat itu saya memang belum sempat mendiskusikan “the true desire”.

Sampai pada akhir, saya diburu pertanyaan itu oleh orangtua saya. Sontak, nafas saya menjadi tidak beraturan. Jantung saya memompa darah laju sekali. “memangnya kenapa buk?” Tanyaku.  Bukan apa-apa, kamu sudah harus memikirkan itu. Jangan kuliah terus, pilih yang benar-benar, jangan sembarangan. Lihat itu ditivi-tivi banyaaaak yang aneh-aneh lah keluarganya, gara-gara itu, salah pilih” Jawabnya dari ujung telfon. Saya tidak tau apa dasar orangtua saya bertanya tiba-tiba seperti itu, memang saya putri satu-satunya dari keluarga ini, mungkin mereka tak ingin saya salah memilih, seperti kisah-kisah sinetron yang setiap siang selalu ibuk tonton.  “iya, nantik yah buk.” Telfon kami akhiri. Sudah larut.

Malam itu, menjadi malam yang cukup berat bagi saya. Siang dan malam seakan saling bersambut tanya yang sama. Ditambah, beberapa waktu lalu, Mba Rina pernah memberi wejangan untukku sebelum menikah seakan-akan dua atau tiga bulan lagi aku akan menikah. Ya Tuhan. Kuliahku belum selesai. Plis. Wkwkwkw

Sebelum tidur, menunggu kantuk saya berselancar di timeline instagram, dan entah kenapa semesta seakan memberi jawaban kepada saya, dari laman akun instagram salah seorang penulis, Mba Riri Abdillah menuliskan tips memilih pasangan di caption postingannya.  Katanya “memang, standar setiap orang itu berbeda-beda. Itu juga dipengaruhi oleh status sosial atau bahkan pendidikan seseorang, tapi jangan termakan oleh egomu sendiri. Setelah berumah tangga nanti, kita akan benar-benar sadar bahwa cakep aja gak cukup, mapan juga gak bakalan cukup, cakep bisa pudar coih, kekayaan juga bisa ilang, roda pasti akan berputar dan seterusnya. Bisa aja yang kaya raya Cuma orangtuanya, atau ditinggalkan dengan harta warisan yang uwah banget, tapi karakter dan mentalnya manja banget, sehingga hanya terbiasa meminta tanpa berusaha.” Yah. Saya butuh yang berkarakter bukan lembek” hati saya menjawab alinie pertama postingan Mba Riri.

“kita akan sadar bahwa yang jauh lebih penting dari itu adalah solih dan bertanggungjawab. Kosholihan akan menuntun kita pada Allah, mengingatkan dan meluruskan jalan kita. Akhlaknya kepada isterinya akan sangat dijaga. Tanggung jawab itu artinya, dia siap berupaya sekuat tenaga mencukupi kebutuhan kita dan anak-anak nantinya. Juga senantiasa melindungi dan berkorban untuk keluarganya.” Ihhh bener banget yah, saya semakin menyelami caption beliau. “sholih bisa dilihat dari ibadahnya, dimana dia dijam-jam waktu sholat, bolong-bolong atau rajin ibadahnya. Akhlaknya seperti sama sahabat, saudara dan kedua orangtuanya sangat ia jaga.” Pas Mantab. “it’s the true desire” kataku.

Tulisan ini saya buat secara sengaja dengan mangamati lingkungan kehidupan penulis sendiri dan berbagai sumber dari pengalaman sekitar. Postingan ini juga tidak pure/mutlak berasal dari sudut pandang penulis, tapi dari sudut pandang perempuan secara umum. Selamat memecahkan teka-teki dari Maha Pecinta. Allahumasholli’alaMuhammad..//yul

Syarat ke-KUA Apa Saja, yah?

Syarat ke-KUA Apa Saja, yah?

Oh okei. Segala prepare mulai dari vanue sampai ke katering (eksternal) so far udah ada yang handle secara mateng. Lalu, Apa ? Ya. Pernikahan harus dicatatkan. Perlu sama-sama kita pahami, bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dipertegas pula  oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan jelas banget mengatur bahwa perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini Instansi Kantor Urusan Agama atau KUA. Dan sama-sama harus kita wanti-wanti adalah sekiranya perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Nikah Sirri)  dipandang ilegal dan tidak formal di mata hukum. Pernikahan yang tidak tercatat akan merugikan bagi pasangan itu sendiri, karena banyaknya kemudharatan yang ditimbulkannya, seperti merugikan secara administrasi negara. Banyak hal yang tidak dapat diurus ketika seseorang yang pernikahannya tidak dicatat, seperti pengurusan akta kelahiran anak, bukti kepemilikan hak sebagai suami istri dan lain sebagainya. Serem gak tuh? Cari Aman Aja dah.

Nah, Berikut kita kupas syarat apa saja yang perlu dipersiapkan untuk mendaftarkan perkawinan kita ke Kantor Urusan Agama Setempat:

  1. Syarat Administrasi

Calon suami, calon istri, wali atau wakilnya datang ke KUA untuk menyampaikan permohonan kehendak nikah atau mendaftar dengan membawa persyaratan-persyaratan:

  1. Surat Keterangan untuk menikah (blangko model N.1)
  2. Surat Keterangan asal usul calon mempelai (blangko model N.2)
  3. Surat Persetujuan kedua calon mempelai (blangko model N.3)
  4. Surat Keterangan tentang orang tua (blangko model N.4)
  5. Surat izin orang tua bagi calon suami dan calon istri yang umurnya belum mencapai 21 tahun   (blangko model N.5)
  6. Surat permohonan kehendak nikah (blangko model N.7)
  7. Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum berumur 16 tahun.
  8. Foto Kopi Akta Kelahiran/Surat keterangan kelahiran calon mempelai
  9. Foto kopi KTP/surat kependudukan calon mempelai dan wali
  10. Pas foto 2×3 berwarna biru masing-masing 4 lembar dan

4×6 masing-masing 1 lembar.

  1. Foto Kopi Kartu Keluarga calon mempelai
  2. Foto Kopi Ijazah SD/SMP/SMA (jika punya)
  3. Surat keterangan sehat dari Dokter.
  4. Foto Kopi buku nikah orang tua kandung calon istri apabila calon istri anak pertama.  
  1. Waktu Pendaftaran

Nah, ini tidak kalah penting dari syarat-syarat di atas, perlu di catat bahwa waktu untuk mendaftarkan kelengkapan persyaratan pencatatan pernikahan paling lambat dilakukan 10 hari kerja sebelum hari H (pelaksanaan nikah). Dan apabila kurang dari 10 hari kerja maka harus mendapatkan Izin/Rekomendasi dari Camat tempat akan dilaksanakannya percepatan pernikahan. Paham Yaaaaaah ?

Udah deh, Kelengkapan persyaratan selesai, dan berkas sudah didaftarkan sebagaimana waktu tertera. Selanjutnya kita akan mengikuti rangkaian demi rangkaian yang telah ditetapkan oleh KUA untuk di…… hmmm kita kupas di pertemuan selanjutnya aja yah. Pantengin terus www.bekalpengantin.com kamu.

 

Wedding Planner: Tabungan Masa Depan

Wedding Planner: Tabungan Masa Depan

Menikah ? Apa yang ada dibenak kamu? Bahagia ? tentu saja. Ada yang menemai ? Tak dipungkiri. Sudah berada pada fase “its your time to married” adalah satu moment yang ditunggu-tunggu dua insan yang sudah berikhtiar pada penantian indah menjemput cinta. Ibarat kata, telah berhasil menyelesaikan teka-teki percintaan yang telah di susun secara dramatisir oleh Tuhan yang Maha Cinta. Overall memang idealisnya pernikahan adalah penyempurnaan keyakinan pada keMaha Besaran Tuhan yang lainnya. Bernilai ibadah, bertujukan surga dan ridhoNya. Tapi. Tidak sedikit hal-hal yang juga memberatkan kepala, menghilangkan selera makan, menjadikan nyenyak tidurpun tiada. Biaya untuk menikah. Iya. Mehong tiada tara.

Memang, bagi sebahagian orang biaya untuk melangsungkan resepsi pernikahan bukanlah satu hal yang rumit, karena memiliki sokongan finansial yang memadai dari keluarga, harta warisan yang bergepok-gepok tak berbilang dan prepare yang sudah dilakukan sejak memulai komitmen dengan pasangan. Namun, menjadi sesuatu yang juga menjadi penghambat pernikahan bagi mereka yang mengandalkan sisihan gaji bulan demi bulan untuk mewujudkan wedding dreams sang pujaan. Karena sebahagian lainnya enggan mempergunakan dana orangtua untuk merealisasikan kebahagian yang seharusnya sudah mampu ia emban dengan sendirinya. Sehingga, pernikahan yang menjadi impian pujaan dengan mengenakan tema-tema pernikahan dari belahan dunia menjadi alakadar. Pun dengan penghidupan setelah resepsi pernikahan, menjadi list baru bila tidak direncanakan dengan baik sebelum memutuskan untuk meminang pujaan hati.

Lalu, bagaimana ?

Mempersiapkan biaya pernikahan dengan pasangan solusinya. Bila kamu dan pasangan sudah memiliki pekerjaan atau berpenghasilan, sisihkan pendapatan bulanan masing-masing dan gabungkan atas nama biaya pernikahan. Kalian bisa menyebutnya dengan tabungan masa depan. Hihi lebay sih. Tapi ini prepare yang mateng banget. Itu satu. Kemudian, kalian juga harus memastikan semua anggaran yang harus dipersiapkan untuk mewujudkan wedding dreams dan biaya penghidupan setelahnya.  Woooo masa depan banget doooong.

Karena. Segala sesuatu tanpa perencanaan yang matang akan keblenger. Karena prepare yang matang merupakan satu bentuk hal sederhana namun bernilai pertanggungjawaban yang luhur. Simak lanjutan Wedding Planer Bekal Pengantin lainnya, yah. Semoga Allah mudahkan niatan baik kamu yang tengah mempersiapkan wedding dreams penuh barokah. Aamiin//yul