Jangan Salah Pilih Pasangan: Ini Bukan Sinetron

Jangan Salah Pilih Pasangan: Ini Bukan Sinetron

Selepas kelas Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, seorang teman diskusi saya dikelas mengajak saya untuk menghabiskan waktu istirahat siang sambil menunggu waktu sholat dzhuhur dan mata kuliah selanjutnya dengan makan siang di salah satu warung makan indomie, atau warmindo. Mahasiswa-mahasiswa jogja udah gak asing lagi dengan angkringan semacam ini. Menggugah selera dan bersahabat di kantong para anak rantauan tentunya. Mba Ulfa namanya. Perantau intelektual ini dari Medan, pintar tidak kepalang. Menempuh strata dua di dua Universitas ternama di Jogja sekaligus, tuh isi kepala apa gak keblenger yak. Yassalaaam.. Sukses selalu, semoga Allah Memberkahi ilmu dan amalanmu.

“eh mba yul” sembari menunggu pesanan magelangan spesial, kita yang di Sumatera mengenalnya dengan minas, mie nasi goreng. Awalnya, saya juga mengira bahwa magelangan itu satu makanan khas dari Kota Magelang, salah satu kota yang berbatasan dengan Yogyakarta. Lah ternyata, Cuma nasi goreng yang dikasih mi indomie goreng dengan irisan timun, tomat dan kerupuk sebagai kriuk-kriuknya. Udah ah, yang penting makan. “aku mau tanya dong, motivasi mba yulmitra lanjut studi lagi apa?” belum selesai saya tertawa geli dengan pertanyaan frontal beliau, dan belum menyiapkan jawaban yang santuy, beliau udah menebak, “Pasti buat naikin harga mahar kan? Di Minang kan gitu kan ya?” Hahahahha ketawa saya semakin terbahak.

“Emang, nilai mahar itu ditentukan dari jenjang pendidikan terakhir kita ya mba?”

“biasanya sih gitu, soalnya dikampung ku tuh gitu, selain pendidikan, pekerjaan calon pasangan terutama perempuan itu sangat menentukan harga mahar yang harus dibayarkan oleh calon suami nantinya, setau ku di Minang yang lebih kental dengan budaya “membeli” nya juga begitu.” Katanya.

“Ah gak juga ah” jawaban saya singkat saja. Karena memang, saya takut menyampaikan sesuatu yang tidak secara konkrit saya ketahui, karena berhubung waktu mendalami adat dan budaya di Minangkabau terbilang tidak terlalu lama, empat tahun tidak sampai. Sedangkan adat dan budaya yang tidak sedikit harus diselami seutuhnya untuk melahirkan sebuah standing oppinion. “begini mba, di Minangkabau itu ada slogan adat salingka nagari, tidak semua adat yang kebetulan mba Ulfa pahami barusan juga berlaku di lingkungan adat saya, makanya jawaban saya begitu”

“ohhh okeeei” jawaban beliau lebih singkat dari jawaban saya sebelumnya. Hahaha ya berhubung magelangan kita udah siap santap, diskusi mlimpir kita sudahi dulu. Ehe

“eh trus mba” eh saya fikir dengan jawaban singkat beliau diskusi ala-ala kita udahan, ternyata Cuma iklan. “calon suami mba tuh gimana sih pengennya? Secara, biasanya nih orang-orang yang berperawakan seperti mba, ada beberapa list yang pakem banget dalam menentukan calon pasangan kan ya? Trus, kalau misalnya mba nya menjalani ta’aruf atau dijodohin gitu sama orang tua atau sama kiyai atau sama siapapun, harusnya gimana?”

“lah, bentar-bentar, emang saya orangnya gimana, perawakan seperti saya? Saya berbeda ta? Mba mau ngejodohin saya ta? ” hahahaha tawa kami pecah. Magelangan kami habis, adzan pun berkumandang dari masjid Ash-Siddiqi ujung jalan sana. Kami akhiri makan siang dan perjumpaan kami siang itu, beliau ada urusan sedikit ke kampus, dan saya langsung balik ke kos-kosan. Saya tak langsung menjawab pertanyaan beliau, karena saya rasa memang jawaban adalah jawaban yang sudah saya diskusikan dengan hati dan fikiran saya. Dan memang, bukan satu dua kali pertanyaan itu tertuju pada saya, dan saya selalu tak tahu mau menjawab apa. Karena saat itu saya memang belum sempat mendiskusikan “the true desire”.

Sampai pada akhir, saya diburu pertanyaan itu oleh orangtua saya. Sontak, nafas saya menjadi tidak beraturan. Jantung saya memompa darah laju sekali. “memangnya kenapa buk?” Tanyaku.  Bukan apa-apa, kamu sudah harus memikirkan itu. Jangan kuliah terus, pilih yang benar-benar, jangan sembarangan. Lihat itu ditivi-tivi banyaaaak yang aneh-aneh lah keluarganya, gara-gara itu, salah pilih” Jawabnya dari ujung telfon. Saya tidak tau apa dasar orangtua saya bertanya tiba-tiba seperti itu, memang saya putri satu-satunya dari keluarga ini, mungkin mereka tak ingin saya salah memilih, seperti kisah-kisah sinetron yang setiap siang selalu ibuk tonton.  “iya, nantik yah buk.” Telfon kami akhiri. Sudah larut.

Malam itu, menjadi malam yang cukup berat bagi saya. Siang dan malam seakan saling bersambut tanya yang sama. Ditambah, beberapa waktu lalu, Mba Rina pernah memberi wejangan untukku sebelum menikah seakan-akan dua atau tiga bulan lagi aku akan menikah. Ya Tuhan. Kuliahku belum selesai. Plis. Wkwkwkw

Sebelum tidur, menunggu kantuk saya berselancar di timeline instagram, dan entah kenapa semesta seakan memberi jawaban kepada saya, dari laman akun instagram salah seorang penulis, Mba Riri Abdillah menuliskan tips memilih pasangan di caption postingannya.  Katanya “memang, standar setiap orang itu berbeda-beda. Itu juga dipengaruhi oleh status sosial atau bahkan pendidikan seseorang, tapi jangan termakan oleh egomu sendiri. Setelah berumah tangga nanti, kita akan benar-benar sadar bahwa cakep aja gak cukup, mapan juga gak bakalan cukup, cakep bisa pudar coih, kekayaan juga bisa ilang, roda pasti akan berputar dan seterusnya. Bisa aja yang kaya raya Cuma orangtuanya, atau ditinggalkan dengan harta warisan yang uwah banget, tapi karakter dan mentalnya manja banget, sehingga hanya terbiasa meminta tanpa berusaha.” Yah. Saya butuh yang berkarakter bukan lembek” hati saya menjawab alinie pertama postingan Mba Riri.

“kita akan sadar bahwa yang jauh lebih penting dari itu adalah solih dan bertanggungjawab. Kosholihan akan menuntun kita pada Allah, mengingatkan dan meluruskan jalan kita. Akhlaknya kepada isterinya akan sangat dijaga. Tanggung jawab itu artinya, dia siap berupaya sekuat tenaga mencukupi kebutuhan kita dan anak-anak nantinya. Juga senantiasa melindungi dan berkorban untuk keluarganya.” Ihhh bener banget yah, saya semakin menyelami caption beliau. “sholih bisa dilihat dari ibadahnya, dimana dia dijam-jam waktu sholat, bolong-bolong atau rajin ibadahnya. Akhlaknya seperti sama sahabat, saudara dan kedua orangtuanya sangat ia jaga.” Pas Mantab. “it’s the true desire” kataku.

Tulisan ini saya buat secara sengaja dengan mangamati lingkungan kehidupan penulis sendiri dan berbagai sumber dari pengalaman sekitar. Postingan ini juga tidak pure/mutlak berasal dari sudut pandang penulis, tapi dari sudut pandang perempuan secara umum. Selamat memecahkan teka-teki dari Maha Pecinta. Allahumasholli’alaMuhammad..//yul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *