Menikahi Penyandang Disabilitas, Apakah Sekufu?

Menikahi Penyandang Disabilitas, Apakah Sekufu?

Apakah menikah dengan difabel bisa dianggap sebagai tidak sekufu atau tidak memenuhi syarat kafaah?

Jumhur ulama’ berpandangan bahwa yang wajib memenuhi standar kafa’ah (sekufu) adalah laki-laki, bukan perempuan. Tujuannya, agar masing-masing pihak tidak merasa terhina di mata keluarga besar atau masyarakat. Lalu apakah menikah dengan difabel termasuk kafa’ah?

Memang melalui kafa’ah lah, sepasang suami istri akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan, dan ketentraman. Tidak akan ada bentuk penghinaan atau diskriminasi yang akan terjadi di dalam keluarga karena merasa ada ketidaksepadanan dalam berbagai sisi.

Lalu apakah bentuk kebahagiaan itu dapat diperoleh melalui pertimbangan fisik, materi, atau agama. Tentang hal ini, ulama’ sesungguhnya sepakat bahwa agama lah yang didudukkan pada posisi pertama. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang aspek sekunder apa saja yang digunakan sebagai standar kafa’ah setelah agama.

Hanafiyyah menetapkan enam aspek; agama, keIslaman, merdeka, nasab, kekayaan (harta benda), dan pekerjaan. Sementara Malikiyyah hanya menetapkan dua aspek; agama dan terbebasnya seseorang dari disabilitas. Syafi’iyyah mentapakan lima hal, yaitu agama atau ‘iffah (kualitas keberagamaan), merdeka, nasab, terbebas dari disabilitas, dan pekerjaan. Hanabilah menetapkan lima hal yang berbeda dari rumusan Syafi’iah, yaitu agama, merdeka, nasab, kekayaan, dan pekerjaan.

Maka, hanya ada dua kelompok ulama’; Malikiyyah dan Syafi’iyyah, yang mengaitkan disabilitas (‘aib/cacat) dengan kafa’ah. Sementara yang lainnya tidak.

Kondisi disabilitas yang dirumuskan pun hanya berkaitan dengan disabilitas fisik dan mental. Jumlahnya ada sembilan di mana jenis disabilitas fisik lah yang mendominasi. Hanya satu yang berakaitan dengan mental, yaitu junun: penyakit gila atau terganggung ingatannya. Selebihnya berkaitan dengan disabilitas fisik.

Namun, jika dikategorikan berdasarkan jenis kelamin, tiga di antaranya dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, yaitu junun (penyakit gila), juzam (lepra/kusta), baras (penyakit belang)Sementara dua jenis yang lain hanya terjadi pada laki-laki saja, yaitu; jub (terpotongnya kemaluan) dan ‘unnah (impoten).

Sisanya hanya dapat ditemui pada perempuan, yaitu: qarn (daging di dalam kemaluan yang menghalangi jima’), ratq (tersumbatnya kemaluan), fatq (sobeknya bagian antara qubul dan dubur)dan afl (daging di dalam kemaluan atau bau tidak sedap dari kemaluan yang menganggu hubungan seksual).

Beberapa kondisi disabilitas di atas menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah tidak berlaku mutlak untuk dianggap tidak kafa’ah. Pihak laki-laki maupun perempuan dapat memilih atau menetapkan untuk melanjutkan atau menghentikan rencana perkawinan.

Di sini para ulama’ tidak mengaitkan beberapa kondisi disabilitas lainnya yang umumnya terjadi. Jenis disabilitas sensorik; seperti disabilitas netra, rungu, dan wicara, dan intelektual terlihat tidak didudukkan sebagai standar kafa’ah. Ini memberikan penekanan pemahaman yang sangat krusial. Artinya, menikah dengan difabel, baik orang yang disabilitas netra, rungu, dan wicara tidak dianggap tidak sekufu.

Kondisi disabilitas yang telah dirumuskan oleh ulama’ sebagai pertimbangan dalam kafa’ah memiliki resiko yang cukup besar dalam pernikahan dapat dibenarkan. Entah itu akan berpengaruh pada masalah reproduksi atau penyakit. Ulama’ terlihat memiliki pertimbangan yang matang untuk menghindari terjadinya kerugian dalam pekawinan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan atas terlaksananya perkawinan.

Hal ini adalah salah satu bentuk penerapan asas etika perkawinan; yaitu prinsip otonomi. Prinsip ini berakaitan dengan kehendak seseorang untuk memilih seorang pasangan sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Apapun itu pertimbangannya, yang jelas disabilitas fisik yang dirumuskan ulama’ itu saat ini mesti dapat teratasi dengan baik. Dunia medis yang semakin canggih mampu memberikan solusi atas disabilitas yang di alami oleh seseorang. Karena itu, mestinya tidak ada lagi pandangan yang terkesan mendiskriminasi pasangan hanya karena masalah sekunder atau bahkan tersier.

Konsep utama kafa’ah; yaitu agama, yang disepakati jumhur ulama’ justru seakan telah menghilangkan perdebatan kaitan disabilitas dalam kafa’ah. Memprioritaskan keagamaan atau agama, pandangan yang terkesan memarginalkan kelompok disabilitas akan tertutup seketika. Bahwa derajat kegamaan dan intelektualitas keagamaan yang diutamakan adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar dalam merealisasikan tujuan kehidupan yang hakiki.

Ketika diskusi ini diarahkan pada hukum Islam positif, perbedaan mencolok terlihat jelas. Kompilasi Hukum Islam (KHI) jelas tidak menghadirkan ragam perbedaan sebagaimana fikih. KHI hanya akan menetapkan beberapa item saja atau satu item yang disepakati sebagai standar kafa’ah. Ini tidak lain sebagai konsekuensi langkah positivisasi hukum Islam.

Atas dasar itu, konsep kafa’ah yang ditetapkan dalam KHI terlihat jauh lebih progressif dari apa yang dirumuskan dalam fikih. Pasal 61 menegaskan bahwa:

“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama”.

Dengan meletakkan aspek keagamaan yang hanya digunakan sebagai standar kafa’ah, maka secara otomatis item-item standar kafa’ah lainnya yang tersebar di fikih tidak lagi dipandang relevan untuk menentukan keberlangsungan pernikahan.

Langkah ini memberikan dampak pemaknaan yang lebih fundamental, terutama untuk penyandang disabilitas. Sisi fisik dan materi-kondisi belum bekerja misalnya- tidak lagi menjadi masalah bagi peyandang disabilitas yang seringnya memperoleh pre-understanding yang buruk karena keterbatasan kemampuannya.

Langkah KHI dalam memangkas segala persyaratan kafa’ah yang dianggap dapat menimbulkan banyak perselisihan dan gesekan sosial ini sejatinya telah mengajarkan bagaimana agama menjadi landasan dalam membangun rumah tangga. Agama lah yang akan menjadi pedoman dan menuntun suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sedangkan aspek-aspek yang lain hanyalah pemandu sekunder yang boleh untuk tidak diikuti.

Salah satu fungsi perkawinan dalam konteks ini tampakya juga memiliki korelasi erat dengan mengapa agama atau keberagamaan berada di posisi pertama dalam kafa’ah. Quraish Shihab menjelaskan bahwa perkwinan memiliki fungsi keagamaan; melestarikan risalah kenabian (agama). Ini hanya dapat diperoleh jika pertimbangan agama diutamakan.

Keyakinan teguh orangtua terhadap Islam memiliki andil besar dalam mengkonstruksi pendidikan dan agama anak turunnya. Sampai-sampai Rasulullah menegaskan;“Semua anak terlahirkan dengan membawa (potensi) fitrah keagamaan yang benar. Kedua orang tuanya lah yang menjadikan ia menganut agama Yahudi, Nasarani, atau Majusi”.

Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa Rasulullah benar-benar menganjurkan aspek keagamaan seseorang sebagai prioritas kafa’ah. Bukan aspek lain yang hanya akan menghasilkan perdebatan dan dapat berujung pada penghormatan atau penghinaan kemanusiaan. Itu hanya akan menghasilkan gesekan sosial dan bahkan kemungkinan terburuknya dapat merusak hubungan haromonis kekerabatan atau kekeluaragaan yang telah terbangun. (AN)

Wallahu A’lam

_____________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Bisu dan Tuli, Bisakah Jadi Wali Nikah?

Bisu dan Tuli, Bisakah Jadi Wali Nikah?

Isu pembatasan hak wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara ini bermula dari pasasl 22 dalam Kompilasi Hukum Islam. Di pasal dijelaskan eksplisit kapan dan siapa saja yang hak wali nikahnya dapat digantikan oleh wali nikah di derajat berikutnya. Begini bunyinya.

“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.”

Dengan melihat redaksi pasalnya saja akan dapat terdeteksi betapa KHI tidak menampilkan keberpihakannya kepada penyandang disabilitas. Peletakan kata “menderita” misalnya dalam pasal itu terkesan memberikan konotasi makna negatif kepada wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara. Penggunaan kata “menderita” itu terkesan menempatkan mereka sebagai orang yang mengalami “penderitaan”, “korban”, atau mungkin “ketidakberdayaan”.

Jika mau melacak lebih jauh, kata “menderita” itu pernah digunakan di Eropa sebelum abad 19. Saat itu, affliction; yang bermakna penderitaan, digunakan untuk menyebut penyandang disabilitas. Kalau begitu, paradigma yang dibangun oleh KHI tidak jauh berbeda dengan paradigma ratusan yang lalu yang umumnya memarginalkan posisi mereka.

Masalahnya, KHI sendiri hingga hari ini masih tetap digunakan sebagai pedoman oleh praktisi hukum (Islam); seperti para hakim Pengadilan Agama juga penghulu KUA. Apa yang ada di dalam KHI tetap digunakan sebagai pertimbangan, meskipun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak sepenuhnya merujuk pendapat dari KHI. Alasannya karena ia tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akhirnya, kitab-kitab fikih lah yang jadi alternatif rujukannya. Padahal KHI itu merupakan himpunan pilihan pendapat dalam kitab-kitab fikih yang mestinya juga dapat diterima.

Nah, otomatis, ketika isu ini dibawa ke ranah kajian fikih, ternyata jawaban akomodatif hanya ditemukan untuk wali nikah penyandang disabilitas wicara saja. Syekh as-Syarbani misalnya menjelaskan bahwa ketika penyandang disabilitas wicara memiliki kemampuan untuk menulis atau menyampaikan isyarat yang bisa dipahami oleh publik maka ia masih memiliki hak untuk menjadi wali nikah. Meskipun hak itu, menurut al-Ghazali dalam al-Wasith fi al-Mazhab, masih diperdebatkan di kalangan ulama’ Syafi’iyyah.

Namun, di sisi lain, penjelasan al-Ghazali tentang kaitan wali nikah dengan penyandang disabilitas netra kelihatannya menjadi titik terang. Dalam catatanya, al-Ghazali menjelaskan bahwa ia tetap memiliki hak perwaliannya karena ia masih bisa mendengar. Alasannya karena maqashid an-nikah tidak berhubungan dengan penglihatan. Menariknya, pernyataan ini tidak diperdebatkan di kalangan ulama’ Syafi’iyyahKalau begitu, apabila pendapat itu dipahami secara kontradiktifmaka wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara harusnya masih memiliki kesempatan menjadi wali nikah.

Diskusi ini tidak akan menemukan titik terangnya jika penyelesaian masalah ini hanya terpaku pada teks fikih saja tanpa mempertimbangkan realitas. Nashr Hamid pernah menyatakan bahwa realitas adalah sumber dari segala bentuk teks. Lalu dari teks akan terbentuklah sebuah konsep. Nah, ketika teks berinteraksi dengan aktifitas kehidupan manusia, pasti pemaknaan terhadap teks akan berubah. Karena itu, imbuhnya, mengabaikan realitas hanya akan menempatkan teks sebagai catatan sejarah belaka.

Sementara itu, bagi asy-Syahrastani, teks-teks hukum itu; dalam konteks ini teks fikih; telah selesai dan dapat dihitung. Sedangkan realitas itu terus berkembang atau berubah dan tidak dapat dihitung. Adalah logis jika hal yang tak terbatas (realitas) tidak bisa dijawab oleh hal yang terbatas (teks).

Apabila ditilik melelui perspektif ushul fikih, seseorang dapat dianggap layak menjalankan kewajiban hukum jika memenuhi kriteria sebagai ahliyyah al-ada’ kamilah (pelaksana hak dan kewajiban hukum yang sempurna). Posisi ini dimiliki oleh orang yang telah aqil baligh hingga meninggal dunia. Kecakapan hukum inilah yang berlaku bagi setiap individu yang telah menyandang status mukallaf.

Apakah penyandang disabilitas rungu dan wicara masih dapat dianggap mukallaf? Terkait ini, uraian tentang halangan hukum (‘awarid) patut diperbincangkan.

Dalam catatannya, Wahbah az-Zuhaili hanya mencatat sebelas jenis penghalang untuk kategori ‘awaridh samawiyyah; penghalang yang ‘waridh samawiyyah, yaitu penyandang disabilitas mental, anak-anak, penyandang disabilitas intelektual, lupa, tidur, ayan/pingsan, sakit, budak, haid, nifas, dan mati. Sedangkan untuk kategori ‘awarid muktasabah; penghalang yang muncul karena perbuatan manusia sendiri, baik dari diri seseorang atau orang lain, Wahbah mencatat tujuh jenis penghalang, yaitu jahl (bodoh), mabuk, hazl (bercanda), safhsafar, dan khatha’ (kesalahan).

Dari uraian itu, maka jelaslah bahwa wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara tetap memiliki hak menjadi wali nikah. Kondisi disabilitas mereka tidak ada kaitannya dengan disabilitas intelektual dan mental sebagaimana pandangan umum masyarakat Eropa di Abad 19. Namun kemudian, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pihak penghulu atau ulama setempat (Islamic legal profesionalist) membolehkan mereka menjadi wali nikah? Akankah mereka mengakui dan memperjuangkan hak mereka menjadi wali nikah, sementara teks-teks fikih belum mengakomodirnya? Inilah yang perlu ditelusuri.

Oleh sebab itu, di sini lah pentingnya menghadirkan dimensi etis dalam memahami permasalahan hukum. Dimensi etis itu memiliki pijakan kuatnya pada sejarah Rasululah SAW ketika mengenalkan Islam di Mekah. Sebelum memperkenalkan risalah tauhidnya, Rasulullah SAW mengajarkan tiga hal mendasar yaitu; menyambung tali silaturahmi (shilat al-arham), melindungi darah (hiqnu ad-dima’), dan mengamankan jalan (ta’min as-sabil).

Tiga hal itu oleh Habib Ali al-Jufri dimaknai dengan perspektif yang lebih luas. “Menyambung silaturahmi” dimaknai sebagai bentuk jaminan keamanan masyarakat. Adapun “melindungi darah” dimaknai sebagai perlindungan terhadap kehidupan. Sedangkan “mengamankan jalan” dimaknai sebagai jaminan keamanan publik.

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah itu menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan sisi kemanusiaan dalam segala bidang, termasuk hukum Islam. Ini pada akhirnya relevan dengan pernyataan yang menegaskan bahwa nalar dibangun oleh fikih, terutama pada bidang mu’amalah, pada dasarnya bernuansa emansipatoris, karena fikih lahir untuk mengurai ketimpangan sosial yang mendominasi di dunia Arab saat itu. Jika begitu, masihkah pantas untuk tetap membatasi hak wali penyandang disabilitas rungu dan wicara hanya karena kedisabilitasannya? (AN)

Wallahu a’lam

__________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mahar Produktif Sebagai Pengembangan Perekonomian Keluarga Samawa

Mahar Produktif Sebagai Pengembangan Perekonomian Keluarga Samawa

Agaknya ada yang salah kaprah dalam masyarakat saat memaknai mahar pernikahan. Umumnya, harga mahar tidak jauh lebih mahal ketimbang persewaan terop, sound system, atau perak-pernik pernikahan yang lain. Sementara kuantitas sekaligus kaulitas mahar jarang sekali diperhatikan. Padahal jika menganut fikih dominan di Indoesia (fikih Syafi’i) atau merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami.

Ala kadarnya mahar yang sering penulis temui menunjukkan bahwa mahar masih dipahami dalam ranah konsumtif, bukan produktif. Beberapa contoh nyata terlihat mengamini ide konsumtif mahar, seperti mahar dengan seperangkat alat shalat –yang ini seringkali dipertontokan di sinteron-sinetron tanah air-, atau hanya berupa sandal yang pernah viral di media sosial-meskipun salah satu mazhab membolehkannya. Ini adalah bukti bahwa masih banyak yang belum memahami fungsi dan esensi mahar.

Dalam sejarahnya, mahar perkawinan pada masa Jahiliyah tidak bisa dimiliki sepenuhnya oleh perempuan. Pihak wali lah yang mengambil alih hak itu. Bahkan perempuan juga bisa menjadi komoditi mahar. Hal ini terjadi karena mahar hanya dianggap sebagai alat transaksi perkawinan untuk mendapatkan wanita, bukan untuk memuliakan perempuan. (Baca juga: Quraish Shihab: Mahar itu Hak Istri tapi Bukan Harga Seorang Wanita)

Lalu ketika Islam datang, peruntukan, komoditas, dan esensi mahar diubah. Islam lalu menetapkan hak mahar sepenuhnya kepada wanita. Komoditasnya pun juga dibatasi, yaitu sesuatu yang memiliki nilai manfaat. Esensinya pun juga ditranformasikan ke bentuk upaya penghormatan dan pemuliaan terhadap perempuan.

Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mahar adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga di depan publik. Mahar juga merupakan bentuk bukti kemampuan seorang laki-laki menafkahi wanita secara lahir dan batin.

Dalam fikih, justru perdebatan komoditas mahar lah yang cukup menarik, baik mengenai kualitas maupun kuantitas mahar. Secara umum ulama’ menetapkan bahwa mahar harus dapat dimiliki dan diperjualbelikan, maka barang yang haram tidak boleh. Mahar juga harus jelas, baik berupa barang atau jasa. Mahar juga harus terbebas dari bentuk penipuan apapun.

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa mahar adalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat, baik berupa jasa atau benda, sedikit atau banyak. Sementara Malikiyyah berpandangan bahwa mahar hanya lah berupa benda yang indrawi dan memiliki nilai manfaat. Sedangkan jasa tidak dapat dijadikan mahar. Dari sini ada indikasi bahwa mahar itu bersifat produktif.

Jika melacak lebih jauh, beberapa hadis nabi mengisyaratkan produktifitas mahar. Sebagaimana diriwayatkan Abu Salamah dalam sunan Ibnu Majah, mahar Nabi menikahi istri-istrinya sebesar 500 dirham. Jika dirupiahkan sekira 50-an juta lebih. Dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas menuturkan bahwa sahabat Tsabit bin Qais menikahi istrinya dengan mahar sebuah kebun.

Ada juga riwayat yang ditemukan dalam Sunan Abu Dawud yang menunjukkan, sebagaimana dikisahkan oleh Uqbah bin Amir, mahar salah satu sahabat senilai 100 dirham. Hitungan ini diperoleh dari hasil penjualan mahar sebidang tanah dari Uqbah. Kalau dirupiahkan setara dengan 414-an juta. (Baca juga: Bukan Emas, Ini Mahar Pernikahan Adam dan Hawa.)

Dengan demikian, maka komoditas mahar yang dinarasikan dalam hadis, baik dalam bentuk uang atau tanah merepresentasikan nilai produktifitas mahar. Mengapa? Jumlah uang yang besar akan membantu perempuan untuk bisa berkarir dan berdaya mandiri tanpa mengandalkan penghasilan suami. Tanah yang luas juga akan mampu menghasilkan nilai tambah perekonomian ketika dikelola dengan baik.

Lalu, bagaimana dengan riwayat yang membolehkan mahar hanya dengan cincin dari besi. Mengenai ini, Ibnu ‘Arabi -Ulama’ Malikiyyah, berpendapat bahwa perintah untuk mencari cincin saat itu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Namun ternyata tidak ada satupun benda yang ditemukan termasuk cincin. Maka, dapat dipahami bahwa kadar minimal mahar dalam hal ini karena adanya ketidaksanggupan memenuhi standar mahar yang dianjurkan saat itu sehingga kebolehan mahar dengan jasa pengajaran Al-Qur’an-bisa dipahami- hanya dalam keadaan tertentu.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) justru menegaskan kesederhanaan mahar karena itulah yang menurutnya dianjurkan oleh Islam. Kenyataan ini sebenarnya memicu banyaknya praktik mahar konsumtif. Ini memang tidak salah. Namun, ini hanya kurang etis untuk memuliakan seorang perempuan. Apalagi untuk menjamin kehidupannya. Padahal Islam tidak benar-benar menegaskan kesederhanaan mahar. Yang justru ditegaskan adalah kemanfaatan dan produktifitasnya.

Ketika seorang perempuan mendapatkan mahar produktif, mahar yang mutlak menjadi haknya bisa membantu untuk pemenuhan pendidikan bagi anak-anak, devisa rumah tangga, serta ekonomi masa depan rumah tangga, jika ia mau ikut berkontribusi dalam hal finansial. Sehingga, perempuan bisa mendapatkan kontrol yang lebih banyak terhadap kondisi dan keadaan hidupnya untuk bisa lebih membantu pemberdayaan keluarga dan perekonomiannya.

Mahar produktif dapat dirupakan dengan wujud apapun yang bisa menghasilkan nilai tambah dan menghasilkan keuntungan ketika dimiliki oleh istri. Bukan hanya sekedar pamer kemewahan, tetapi juga demi asset bersifat statis; tidak bergerak dan tidak menghasilkan apapun. Baik benda dan jasa bisa digunakan sebagai mahar produktif.

Beberapa contoh mahar produktif yang berupa benda misalnya emas, saham, hotel, rumah atau vila yan disewakan. Sedangkan untuk contoh mahar berupa jasa misalnya mengajari istri untuk berwirausaha, mengelola perusahaan, atau jenis mahar yang lain. Ini hanya beberapa contoh saja. Langkah ini setidaknya akan mampu meningkatkan perekominan keluarga secara lebih kreatif dan mandiri.

Gerakan mahar produktif agaknya perlu disosialisasikan. Tujuannya, agar setiap lelaki yang hendak menikah bisa mempersiapkan jauh-jauh hari untuk meminang perempuan pilihannya. Apakah pantas jika mahar hanya sekedar konsumtif sedangkan perempuan itu akan dimiliki seumur hidup? Ini setidaknya yang dapat direnungkan. (AN)

Wallahu A’lam.

___________________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.