Menikahi Penyandang Disabilitas, Apakah Sekufu?

Menikahi Penyandang Disabilitas, Apakah Sekufu?

Apakah menikah dengan difabel bisa dianggap sebagai tidak sekufu atau tidak memenuhi syarat kafaah?

Jumhur ulama’ berpandangan bahwa yang wajib memenuhi standar kafa’ah (sekufu) adalah laki-laki, bukan perempuan. Tujuannya, agar masing-masing pihak tidak merasa terhina di mata keluarga besar atau masyarakat. Lalu apakah menikah dengan difabel termasuk kafa’ah?

Memang melalui kafa’ah lah, sepasang suami istri akan memperoleh ketenangan, kebahagiaan, dan ketentraman. Tidak akan ada bentuk penghinaan atau diskriminasi yang akan terjadi di dalam keluarga karena merasa ada ketidaksepadanan dalam berbagai sisi.

Lalu apakah bentuk kebahagiaan itu dapat diperoleh melalui pertimbangan fisik, materi, atau agama. Tentang hal ini, ulama’ sesungguhnya sepakat bahwa agama lah yang didudukkan pada posisi pertama. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang aspek sekunder apa saja yang digunakan sebagai standar kafa’ah setelah agama.

Hanafiyyah menetapkan enam aspek; agama, keIslaman, merdeka, nasab, kekayaan (harta benda), dan pekerjaan. Sementara Malikiyyah hanya menetapkan dua aspek; agama dan terbebasnya seseorang dari disabilitas. Syafi’iyyah mentapakan lima hal, yaitu agama atau ‘iffah (kualitas keberagamaan), merdeka, nasab, terbebas dari disabilitas, dan pekerjaan. Hanabilah menetapkan lima hal yang berbeda dari rumusan Syafi’iah, yaitu agama, merdeka, nasab, kekayaan, dan pekerjaan.

Maka, hanya ada dua kelompok ulama’; Malikiyyah dan Syafi’iyyah, yang mengaitkan disabilitas (‘aib/cacat) dengan kafa’ah. Sementara yang lainnya tidak.

Kondisi disabilitas yang dirumuskan pun hanya berkaitan dengan disabilitas fisik dan mental. Jumlahnya ada sembilan di mana jenis disabilitas fisik lah yang mendominasi. Hanya satu yang berakaitan dengan mental, yaitu junun: penyakit gila atau terganggung ingatannya. Selebihnya berkaitan dengan disabilitas fisik.

Namun, jika dikategorikan berdasarkan jenis kelamin, tiga di antaranya dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, yaitu junun (penyakit gila), juzam (lepra/kusta), baras (penyakit belang)Sementara dua jenis yang lain hanya terjadi pada laki-laki saja, yaitu; jub (terpotongnya kemaluan) dan ‘unnah (impoten).

Sisanya hanya dapat ditemui pada perempuan, yaitu: qarn (daging di dalam kemaluan yang menghalangi jima’), ratq (tersumbatnya kemaluan), fatq (sobeknya bagian antara qubul dan dubur)dan afl (daging di dalam kemaluan atau bau tidak sedap dari kemaluan yang menganggu hubungan seksual).

Beberapa kondisi disabilitas di atas menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah tidak berlaku mutlak untuk dianggap tidak kafa’ah. Pihak laki-laki maupun perempuan dapat memilih atau menetapkan untuk melanjutkan atau menghentikan rencana perkawinan.

Di sini para ulama’ tidak mengaitkan beberapa kondisi disabilitas lainnya yang umumnya terjadi. Jenis disabilitas sensorik; seperti disabilitas netra, rungu, dan wicara, dan intelektual terlihat tidak didudukkan sebagai standar kafa’ah. Ini memberikan penekanan pemahaman yang sangat krusial. Artinya, menikah dengan difabel, baik orang yang disabilitas netra, rungu, dan wicara tidak dianggap tidak sekufu.

Kondisi disabilitas yang telah dirumuskan oleh ulama’ sebagai pertimbangan dalam kafa’ah memiliki resiko yang cukup besar dalam pernikahan dapat dibenarkan. Entah itu akan berpengaruh pada masalah reproduksi atau penyakit. Ulama’ terlihat memiliki pertimbangan yang matang untuk menghindari terjadinya kerugian dalam pekawinan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan atas terlaksananya perkawinan.

Hal ini adalah salah satu bentuk penerapan asas etika perkawinan; yaitu prinsip otonomi. Prinsip ini berakaitan dengan kehendak seseorang untuk memilih seorang pasangan sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

Apapun itu pertimbangannya, yang jelas disabilitas fisik yang dirumuskan ulama’ itu saat ini mesti dapat teratasi dengan baik. Dunia medis yang semakin canggih mampu memberikan solusi atas disabilitas yang di alami oleh seseorang. Karena itu, mestinya tidak ada lagi pandangan yang terkesan mendiskriminasi pasangan hanya karena masalah sekunder atau bahkan tersier.

Konsep utama kafa’ah; yaitu agama, yang disepakati jumhur ulama’ justru seakan telah menghilangkan perdebatan kaitan disabilitas dalam kafa’ah. Memprioritaskan keagamaan atau agama, pandangan yang terkesan memarginalkan kelompok disabilitas akan tertutup seketika. Bahwa derajat kegamaan dan intelektualitas keagamaan yang diutamakan adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar dalam merealisasikan tujuan kehidupan yang hakiki.

Ketika diskusi ini diarahkan pada hukum Islam positif, perbedaan mencolok terlihat jelas. Kompilasi Hukum Islam (KHI) jelas tidak menghadirkan ragam perbedaan sebagaimana fikih. KHI hanya akan menetapkan beberapa item saja atau satu item yang disepakati sebagai standar kafa’ah. Ini tidak lain sebagai konsekuensi langkah positivisasi hukum Islam.

Atas dasar itu, konsep kafa’ah yang ditetapkan dalam KHI terlihat jauh lebih progressif dari apa yang dirumuskan dalam fikih. Pasal 61 menegaskan bahwa:

“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama”.

Dengan meletakkan aspek keagamaan yang hanya digunakan sebagai standar kafa’ah, maka secara otomatis item-item standar kafa’ah lainnya yang tersebar di fikih tidak lagi dipandang relevan untuk menentukan keberlangsungan pernikahan.

Langkah ini memberikan dampak pemaknaan yang lebih fundamental, terutama untuk penyandang disabilitas. Sisi fisik dan materi-kondisi belum bekerja misalnya- tidak lagi menjadi masalah bagi peyandang disabilitas yang seringnya memperoleh pre-understanding yang buruk karena keterbatasan kemampuannya.

Langkah KHI dalam memangkas segala persyaratan kafa’ah yang dianggap dapat menimbulkan banyak perselisihan dan gesekan sosial ini sejatinya telah mengajarkan bagaimana agama menjadi landasan dalam membangun rumah tangga. Agama lah yang akan menjadi pedoman dan menuntun suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sedangkan aspek-aspek yang lain hanyalah pemandu sekunder yang boleh untuk tidak diikuti.

Salah satu fungsi perkawinan dalam konteks ini tampakya juga memiliki korelasi erat dengan mengapa agama atau keberagamaan berada di posisi pertama dalam kafa’ah. Quraish Shihab menjelaskan bahwa perkwinan memiliki fungsi keagamaan; melestarikan risalah kenabian (agama). Ini hanya dapat diperoleh jika pertimbangan agama diutamakan.

Keyakinan teguh orangtua terhadap Islam memiliki andil besar dalam mengkonstruksi pendidikan dan agama anak turunnya. Sampai-sampai Rasulullah menegaskan;“Semua anak terlahirkan dengan membawa (potensi) fitrah keagamaan yang benar. Kedua orang tuanya lah yang menjadikan ia menganut agama Yahudi, Nasarani, atau Majusi”.

Sekali lagi, ini adalah bukti bahwa Rasulullah benar-benar menganjurkan aspek keagamaan seseorang sebagai prioritas kafa’ah. Bukan aspek lain yang hanya akan menghasilkan perdebatan dan dapat berujung pada penghormatan atau penghinaan kemanusiaan. Itu hanya akan menghasilkan gesekan sosial dan bahkan kemungkinan terburuknya dapat merusak hubungan haromonis kekerabatan atau kekeluaragaan yang telah terbangun. (AN)

Wallahu A’lam

_____________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Bisu dan Tuli, Bisakah Jadi Wali Nikah?

Bisu dan Tuli, Bisakah Jadi Wali Nikah?

Isu pembatasan hak wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara ini bermula dari pasasl 22 dalam Kompilasi Hukum Islam. Di pasal dijelaskan eksplisit kapan dan siapa saja yang hak wali nikahnya dapat digantikan oleh wali nikah di derajat berikutnya. Begini bunyinya.

“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.”

Dengan melihat redaksi pasalnya saja akan dapat terdeteksi betapa KHI tidak menampilkan keberpihakannya kepada penyandang disabilitas. Peletakan kata “menderita” misalnya dalam pasal itu terkesan memberikan konotasi makna negatif kepada wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara. Penggunaan kata “menderita” itu terkesan menempatkan mereka sebagai orang yang mengalami “penderitaan”, “korban”, atau mungkin “ketidakberdayaan”.

Jika mau melacak lebih jauh, kata “menderita” itu pernah digunakan di Eropa sebelum abad 19. Saat itu, affliction; yang bermakna penderitaan, digunakan untuk menyebut penyandang disabilitas. Kalau begitu, paradigma yang dibangun oleh KHI tidak jauh berbeda dengan paradigma ratusan yang lalu yang umumnya memarginalkan posisi mereka.

Masalahnya, KHI sendiri hingga hari ini masih tetap digunakan sebagai pedoman oleh praktisi hukum (Islam); seperti para hakim Pengadilan Agama juga penghulu KUA. Apa yang ada di dalam KHI tetap digunakan sebagai pertimbangan, meskipun pada kenyataannya banyak dari mereka yang tidak sepenuhnya merujuk pendapat dari KHI. Alasannya karena ia tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akhirnya, kitab-kitab fikih lah yang jadi alternatif rujukannya. Padahal KHI itu merupakan himpunan pilihan pendapat dalam kitab-kitab fikih yang mestinya juga dapat diterima.

Nah, otomatis, ketika isu ini dibawa ke ranah kajian fikih, ternyata jawaban akomodatif hanya ditemukan untuk wali nikah penyandang disabilitas wicara saja. Syekh as-Syarbani misalnya menjelaskan bahwa ketika penyandang disabilitas wicara memiliki kemampuan untuk menulis atau menyampaikan isyarat yang bisa dipahami oleh publik maka ia masih memiliki hak untuk menjadi wali nikah. Meskipun hak itu, menurut al-Ghazali dalam al-Wasith fi al-Mazhab, masih diperdebatkan di kalangan ulama’ Syafi’iyyah.

Namun, di sisi lain, penjelasan al-Ghazali tentang kaitan wali nikah dengan penyandang disabilitas netra kelihatannya menjadi titik terang. Dalam catatanya, al-Ghazali menjelaskan bahwa ia tetap memiliki hak perwaliannya karena ia masih bisa mendengar. Alasannya karena maqashid an-nikah tidak berhubungan dengan penglihatan. Menariknya, pernyataan ini tidak diperdebatkan di kalangan ulama’ Syafi’iyyahKalau begitu, apabila pendapat itu dipahami secara kontradiktifmaka wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara harusnya masih memiliki kesempatan menjadi wali nikah.

Diskusi ini tidak akan menemukan titik terangnya jika penyelesaian masalah ini hanya terpaku pada teks fikih saja tanpa mempertimbangkan realitas. Nashr Hamid pernah menyatakan bahwa realitas adalah sumber dari segala bentuk teks. Lalu dari teks akan terbentuklah sebuah konsep. Nah, ketika teks berinteraksi dengan aktifitas kehidupan manusia, pasti pemaknaan terhadap teks akan berubah. Karena itu, imbuhnya, mengabaikan realitas hanya akan menempatkan teks sebagai catatan sejarah belaka.

Sementara itu, bagi asy-Syahrastani, teks-teks hukum itu; dalam konteks ini teks fikih; telah selesai dan dapat dihitung. Sedangkan realitas itu terus berkembang atau berubah dan tidak dapat dihitung. Adalah logis jika hal yang tak terbatas (realitas) tidak bisa dijawab oleh hal yang terbatas (teks).

Apabila ditilik melelui perspektif ushul fikih, seseorang dapat dianggap layak menjalankan kewajiban hukum jika memenuhi kriteria sebagai ahliyyah al-ada’ kamilah (pelaksana hak dan kewajiban hukum yang sempurna). Posisi ini dimiliki oleh orang yang telah aqil baligh hingga meninggal dunia. Kecakapan hukum inilah yang berlaku bagi setiap individu yang telah menyandang status mukallaf.

Apakah penyandang disabilitas rungu dan wicara masih dapat dianggap mukallaf? Terkait ini, uraian tentang halangan hukum (‘awarid) patut diperbincangkan.

Dalam catatannya, Wahbah az-Zuhaili hanya mencatat sebelas jenis penghalang untuk kategori ‘awaridh samawiyyah; penghalang yang ‘waridh samawiyyah, yaitu penyandang disabilitas mental, anak-anak, penyandang disabilitas intelektual, lupa, tidur, ayan/pingsan, sakit, budak, haid, nifas, dan mati. Sedangkan untuk kategori ‘awarid muktasabah; penghalang yang muncul karena perbuatan manusia sendiri, baik dari diri seseorang atau orang lain, Wahbah mencatat tujuh jenis penghalang, yaitu jahl (bodoh), mabuk, hazl (bercanda), safhsafar, dan khatha’ (kesalahan).

Dari uraian itu, maka jelaslah bahwa wali nikah penyandang disabilitas rungu dan wicara tetap memiliki hak menjadi wali nikah. Kondisi disabilitas mereka tidak ada kaitannya dengan disabilitas intelektual dan mental sebagaimana pandangan umum masyarakat Eropa di Abad 19. Namun kemudian, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pihak penghulu atau ulama setempat (Islamic legal profesionalist) membolehkan mereka menjadi wali nikah? Akankah mereka mengakui dan memperjuangkan hak mereka menjadi wali nikah, sementara teks-teks fikih belum mengakomodirnya? Inilah yang perlu ditelusuri.

Oleh sebab itu, di sini lah pentingnya menghadirkan dimensi etis dalam memahami permasalahan hukum. Dimensi etis itu memiliki pijakan kuatnya pada sejarah Rasululah SAW ketika mengenalkan Islam di Mekah. Sebelum memperkenalkan risalah tauhidnya, Rasulullah SAW mengajarkan tiga hal mendasar yaitu; menyambung tali silaturahmi (shilat al-arham), melindungi darah (hiqnu ad-dima’), dan mengamankan jalan (ta’min as-sabil).

Tiga hal itu oleh Habib Ali al-Jufri dimaknai dengan perspektif yang lebih luas. “Menyambung silaturahmi” dimaknai sebagai bentuk jaminan keamanan masyarakat. Adapun “melindungi darah” dimaknai sebagai perlindungan terhadap kehidupan. Sedangkan “mengamankan jalan” dimaknai sebagai jaminan keamanan publik.

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah itu menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan sisi kemanusiaan dalam segala bidang, termasuk hukum Islam. Ini pada akhirnya relevan dengan pernyataan yang menegaskan bahwa nalar dibangun oleh fikih, terutama pada bidang mu’amalah, pada dasarnya bernuansa emansipatoris, karena fikih lahir untuk mengurai ketimpangan sosial yang mendominasi di dunia Arab saat itu. Jika begitu, masihkah pantas untuk tetap membatasi hak wali penyandang disabilitas rungu dan wicara hanya karena kedisabilitasannya? (AN)

Wallahu a’lam

__________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mahar Produktif Sebagai Pengembangan Perekonomian Keluarga Samawa

Mahar Produktif Sebagai Pengembangan Perekonomian Keluarga Samawa

Agaknya ada yang salah kaprah dalam masyarakat saat memaknai mahar pernikahan. Umumnya, harga mahar tidak jauh lebih mahal ketimbang persewaan terop, sound system, atau perak-pernik pernikahan yang lain. Sementara kuantitas sekaligus kaulitas mahar jarang sekali diperhatikan. Padahal jika menganut fikih dominan di Indoesia (fikih Syafi’i) atau merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh suami.

Ala kadarnya mahar yang sering penulis temui menunjukkan bahwa mahar masih dipahami dalam ranah konsumtif, bukan produktif. Beberapa contoh nyata terlihat mengamini ide konsumtif mahar, seperti mahar dengan seperangkat alat shalat –yang ini seringkali dipertontokan di sinteron-sinetron tanah air-, atau hanya berupa sandal yang pernah viral di media sosial-meskipun salah satu mazhab membolehkannya. Ini adalah bukti bahwa masih banyak yang belum memahami fungsi dan esensi mahar.

Dalam sejarahnya, mahar perkawinan pada masa Jahiliyah tidak bisa dimiliki sepenuhnya oleh perempuan. Pihak wali lah yang mengambil alih hak itu. Bahkan perempuan juga bisa menjadi komoditi mahar. Hal ini terjadi karena mahar hanya dianggap sebagai alat transaksi perkawinan untuk mendapatkan wanita, bukan untuk memuliakan perempuan. (Baca juga: Quraish Shihab: Mahar itu Hak Istri tapi Bukan Harga Seorang Wanita)

Lalu ketika Islam datang, peruntukan, komoditas, dan esensi mahar diubah. Islam lalu menetapkan hak mahar sepenuhnya kepada wanita. Komoditasnya pun juga dibatasi, yaitu sesuatu yang memiliki nilai manfaat. Esensinya pun juga ditranformasikan ke bentuk upaya penghormatan dan pemuliaan terhadap perempuan.

Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mahar adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga di depan publik. Mahar juga merupakan bentuk bukti kemampuan seorang laki-laki menafkahi wanita secara lahir dan batin.

Dalam fikih, justru perdebatan komoditas mahar lah yang cukup menarik, baik mengenai kualitas maupun kuantitas mahar. Secara umum ulama’ menetapkan bahwa mahar harus dapat dimiliki dan diperjualbelikan, maka barang yang haram tidak boleh. Mahar juga harus jelas, baik berupa barang atau jasa. Mahar juga harus terbebas dari bentuk penipuan apapun.

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa mahar adalah sesuatu yang memiliki nilai manfaat, baik berupa jasa atau benda, sedikit atau banyak. Sementara Malikiyyah berpandangan bahwa mahar hanya lah berupa benda yang indrawi dan memiliki nilai manfaat. Sedangkan jasa tidak dapat dijadikan mahar. Dari sini ada indikasi bahwa mahar itu bersifat produktif.

Jika melacak lebih jauh, beberapa hadis nabi mengisyaratkan produktifitas mahar. Sebagaimana diriwayatkan Abu Salamah dalam sunan Ibnu Majah, mahar Nabi menikahi istri-istrinya sebesar 500 dirham. Jika dirupiahkan sekira 50-an juta lebih. Dalam Shahih Bukhari, Ibnu Abbas menuturkan bahwa sahabat Tsabit bin Qais menikahi istrinya dengan mahar sebuah kebun.

Ada juga riwayat yang ditemukan dalam Sunan Abu Dawud yang menunjukkan, sebagaimana dikisahkan oleh Uqbah bin Amir, mahar salah satu sahabat senilai 100 dirham. Hitungan ini diperoleh dari hasil penjualan mahar sebidang tanah dari Uqbah. Kalau dirupiahkan setara dengan 414-an juta. (Baca juga: Bukan Emas, Ini Mahar Pernikahan Adam dan Hawa.)

Dengan demikian, maka komoditas mahar yang dinarasikan dalam hadis, baik dalam bentuk uang atau tanah merepresentasikan nilai produktifitas mahar. Mengapa? Jumlah uang yang besar akan membantu perempuan untuk bisa berkarir dan berdaya mandiri tanpa mengandalkan penghasilan suami. Tanah yang luas juga akan mampu menghasilkan nilai tambah perekonomian ketika dikelola dengan baik.

Lalu, bagaimana dengan riwayat yang membolehkan mahar hanya dengan cincin dari besi. Mengenai ini, Ibnu ‘Arabi -Ulama’ Malikiyyah, berpendapat bahwa perintah untuk mencari cincin saat itu adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan. Namun ternyata tidak ada satupun benda yang ditemukan termasuk cincin. Maka, dapat dipahami bahwa kadar minimal mahar dalam hal ini karena adanya ketidaksanggupan memenuhi standar mahar yang dianjurkan saat itu sehingga kebolehan mahar dengan jasa pengajaran Al-Qur’an-bisa dipahami- hanya dalam keadaan tertentu.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) justru menegaskan kesederhanaan mahar karena itulah yang menurutnya dianjurkan oleh Islam. Kenyataan ini sebenarnya memicu banyaknya praktik mahar konsumtif. Ini memang tidak salah. Namun, ini hanya kurang etis untuk memuliakan seorang perempuan. Apalagi untuk menjamin kehidupannya. Padahal Islam tidak benar-benar menegaskan kesederhanaan mahar. Yang justru ditegaskan adalah kemanfaatan dan produktifitasnya.

Ketika seorang perempuan mendapatkan mahar produktif, mahar yang mutlak menjadi haknya bisa membantu untuk pemenuhan pendidikan bagi anak-anak, devisa rumah tangga, serta ekonomi masa depan rumah tangga, jika ia mau ikut berkontribusi dalam hal finansial. Sehingga, perempuan bisa mendapatkan kontrol yang lebih banyak terhadap kondisi dan keadaan hidupnya untuk bisa lebih membantu pemberdayaan keluarga dan perekonomiannya.

Mahar produktif dapat dirupakan dengan wujud apapun yang bisa menghasilkan nilai tambah dan menghasilkan keuntungan ketika dimiliki oleh istri. Bukan hanya sekedar pamer kemewahan, tetapi juga demi asset bersifat statis; tidak bergerak dan tidak menghasilkan apapun. Baik benda dan jasa bisa digunakan sebagai mahar produktif.

Beberapa contoh mahar produktif yang berupa benda misalnya emas, saham, hotel, rumah atau vila yan disewakan. Sedangkan untuk contoh mahar berupa jasa misalnya mengajari istri untuk berwirausaha, mengelola perusahaan, atau jenis mahar yang lain. Ini hanya beberapa contoh saja. Langkah ini setidaknya akan mampu meningkatkan perekominan keluarga secara lebih kreatif dan mandiri.

Gerakan mahar produktif agaknya perlu disosialisasikan. Tujuannya, agar setiap lelaki yang hendak menikah bisa mempersiapkan jauh-jauh hari untuk meminang perempuan pilihannya. Apakah pantas jika mahar hanya sekedar konsumtif sedangkan perempuan itu akan dimiliki seumur hidup? Ini setidaknya yang dapat direnungkan. (AN)

Wallahu A’lam.

___________________________
Ditulis oleh Mukhammad Nur Hadi – Alumnus Magister Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Nikah Itu Butuh Ilmu

Nikah Itu Butuh Ilmu

Hampir tiga harian timeline sosyiel media saya kebanjiran tipe-tipe begitu tuh. Tipi isti/siimi idimin kimi sipiti ipi? Hahahaa –maap saya kelepasan. Tipe istri –dan atau- suami adalah standar yang ditetapkan oleh masing-masing personal (ada juga turut serta keluarga dan kultural) dalam mencari atau memilih pasangan hidup untuk diajak membangun bahtera seumur hidup. Saya ingin mengulas sedikit persoalan yang cukup greget dari persiapan pemilihan calon suami pun calon istri, khususnya perempuan yang berpendidikan. Menjadi perempuan yang memiliki rekam jejak studi cukup panjang acap kali  bersinggungan dengan konstruksi sosial miring –terutama mas-mas- yang akan mempersuntingnya untuk menjadi pasangan hidup. Alih-alih masak sih doi lebih pinter dari aku; ntar aku yang jadi budaknya lagi; walah aku yo minder toh, menjadi alasan klasik yang nyaring sekali. Seakan-akan perempuan kodratnya harus “dibawah” laki-laki, sehingga memperistri sarjana;magister;bahkan doktor adalah momok yang menakutkan bagi laki-laki yang berkelas –maaf- teri di dalam sego kucing angkringan malbor. Udah kecil, terus dikit banget lagi.  

Apa Kabar Nalar Egalitarian Orangorang?

Apa kaitannya dengan nalar egalitar? lah iyo jelas berkaitan. Mana mungkin ada pelanggengan pemahaman semacam itu –cara pikir mas-mas- kalau bukan dipengaruhi oleh rendahnya rasio kesetaraan di dalam hidup keseharian. Saya pikir –menurut saya loh ya- tirani pemikiran semacam ini sudah selesai masanya, tapi nyatanya tidak. Bobrok, yah.  Tau itu semua berasal dari mana? dari pola penafsiran teks-teks agama yang cenderung parsial, tidak holistik dan tidak komprehensif. Beberapa narasi yang digunakan untuk mendukung premis tersebut diantaranya seperti penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok, pesona perempuan yang dapat menjerumuskan laki-laki, perempuan sebagai mayoritas penghuni neraka, kewajiban keluar rumah dengan mahram, kewajiban taat banget banget banget pada suami, hingga pelaknatan bagi perempuan yang enggan melayani suami. Perempuan perempuan dan perempuan, enek ga sih?. Seharusnya perempuan dipandang sebagai pribadi yang utuh dan merdeka, yang sama halnya dengan laki-laki yang dapat memberikan sumbangsihnya untuk kemajuan terhadap peradaban. Sedihnya lagi agama selalu dijadikan sebagai dalih pembenaran atas rentetan klaim yang sudah saya sindir sebelumnya. “Lah wong ada dalilnya o” iyaaa mas iyaaa paham, dalilnya ada namun bukankah persoalan penafsiran teks keagamaan semacam itu juga multitafsir dan mengikuti kultural budaya dimana ayat itu diturunkan? Jadi tidak berlebihan rasanya pertanyaan saya soal “apa kabar” dengan nalar-nalar egaliter yang penuh dengan keramahan sebagaimana Islam menuntunnya. Anggap saja saya sedang menyapa sahabat lama.

Kaitannya dengan tajuk yang saya hadirkan adalah betapa lemahnya nilai-nilai profetik dan cara pandang visioner sebagai seorang manusia. Saya pikir lagi –mungkin bisa saja ini salah- bahwa ketakutan-ketakutan mereka terhadap perempuan yang berpendidikan tinggi bukan semata “minder” tapi tidak ingin martabatnya sebagai seorang laki-laki yang superior rendah dimata perempuan-nya. Maka tak asing ditelinga kita falsafah hidup keluarga “mas-mas” yaitu dapur – sumur – kasur. Sebenarnya semboyan ini tidak terlalu menafikan perempuan, karena memang sejatinya peran perempuan tidak bisa dilepaskan dari tiga framing ini. Namun, jika lirik ini senantiasa nyaring secara otomatis penirsubstansian perempuan tidak berhak;tidak patut;tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi akan semakin merajai dunia.

Kesalingan: Tatanan Normal Baru Relasi Laki-laki dan Perempuan.

Kita hanya perlu sebuah pemahaman baru, cara pandang baru dan tatanan kehidupan baru yang ramah terhadap perempuan juga laki-laki tentunya. Kang Faqih bilang hidup ini flat jika hanya menjurus persoalan dari satu kacamata saja, maka terbesit sebuah gagasan visioner yang ramah terhadap laki-laki juga perempuan. Mubadalah sebagai konseptual baru –sebenarnya sudah lama, namun tersembunyi oleh hegemoni klasik patriarki- yang perlu dikulik oleh para “mas-mas” yang masih menomorduakan pendidikan perempuan-nya. Konsep kesalingan ini menuntun laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang bermartabat seimbang dalam segala aspek. Jika laki-laki (suami) berhak atas pendidikan tingginya dengan gelar dan jabatan mentereng, pun hal yang sama juga harus diberikan kepada perempuan. Pernikahan tidak serta merta menjadikan perempuan terbelenggu dengan aturan-aturan klasik yang sejatinya dapat di musyawarahkan sebagaimana konsep pernikahan yang juga digagas oleh teori mubadalah ini.

Nikah Itu Butuh Ilmu

Oke, kita sudahi sentimen ala-ala ini. Hehe. Begini, menikah itu butuh ilmu, segala hal di dalamnya butuh ilmu, karena manual book tentang menjadi suami istri itu tidak ada, semua di dapat dari pemahaman yang dibangun melalui ilmu. Bayangkan, mulai dari malam pertama, bukankah itu butuh ilmu tentang jima’ mandi junub doa-doa dan amalan sebelumnya. Ketika masa kehamilan, persalinan sampai kepada mengurus anak. Sepakat dengan gagasan yang dibangun oleh Pak Ghifar dalam tulisannya “Perempuan Wajib Berpendidikan Tinggi” di platform rahma.id. Dalam hukum mukhalaf wajib sudah menjadi perintah yang amat sangat tegas, tanpa pemakluman. Bahwa perempuan akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Walau bagaimanapun katanya, perempuan memiliki kodrat untuk menjadi seorang ibu, yang akan membawa peran penting dalam kehidupan regenerasi keturunannya. Pengiringan opini ini bukan menandakan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi adalah mereka yang dilema terhadap kisah cintanya akibat banyaknya laki-laki satu per satu minder, namun lebih jauh memiliki deep-value terkait sebuah upaya rekonstruksi pemahaman relasi laki-laki dan perempuan yang sejatinya adalah seimbang, baik hak maupun kewajiban. Dalam ranah domestik maupun publik.//yul-tulisan ini senada dengan postingan penulis yang juga dipublish oleh rahma.id

Jangan Salah Pilih Pasangan: Ini Bukan Sinetron

Jangan Salah Pilih Pasangan: Ini Bukan Sinetron

Selepas kelas Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, seorang teman diskusi saya dikelas mengajak saya untuk menghabiskan waktu istirahat siang sambil menunggu waktu sholat dzhuhur dan mata kuliah selanjutnya dengan makan siang di salah satu warung makan indomie, atau warmindo. Mahasiswa-mahasiswa jogja udah gak asing lagi dengan angkringan semacam ini. Menggugah selera dan bersahabat di kantong para anak rantauan tentunya. Mba Ulfa namanya. Perantau intelektual ini dari Medan, pintar tidak kepalang. Menempuh strata dua di dua Universitas ternama di Jogja sekaligus, tuh isi kepala apa gak keblenger yak. Yassalaaam.. Sukses selalu, semoga Allah Memberkahi ilmu dan amalanmu.

“eh mba yul” sembari menunggu pesanan magelangan spesial, kita yang di Sumatera mengenalnya dengan minas, mie nasi goreng. Awalnya, saya juga mengira bahwa magelangan itu satu makanan khas dari Kota Magelang, salah satu kota yang berbatasan dengan Yogyakarta. Lah ternyata, Cuma nasi goreng yang dikasih mi indomie goreng dengan irisan timun, tomat dan kerupuk sebagai kriuk-kriuknya. Udah ah, yang penting makan. “aku mau tanya dong, motivasi mba yulmitra lanjut studi lagi apa?” belum selesai saya tertawa geli dengan pertanyaan frontal beliau, dan belum menyiapkan jawaban yang santuy, beliau udah menebak, “Pasti buat naikin harga mahar kan? Di Minang kan gitu kan ya?” Hahahahha ketawa saya semakin terbahak.

“Emang, nilai mahar itu ditentukan dari jenjang pendidikan terakhir kita ya mba?”

“biasanya sih gitu, soalnya dikampung ku tuh gitu, selain pendidikan, pekerjaan calon pasangan terutama perempuan itu sangat menentukan harga mahar yang harus dibayarkan oleh calon suami nantinya, setau ku di Minang yang lebih kental dengan budaya “membeli” nya juga begitu.” Katanya.

“Ah gak juga ah” jawaban saya singkat saja. Karena memang, saya takut menyampaikan sesuatu yang tidak secara konkrit saya ketahui, karena berhubung waktu mendalami adat dan budaya di Minangkabau terbilang tidak terlalu lama, empat tahun tidak sampai. Sedangkan adat dan budaya yang tidak sedikit harus diselami seutuhnya untuk melahirkan sebuah standing oppinion. “begini mba, di Minangkabau itu ada slogan adat salingka nagari, tidak semua adat yang kebetulan mba Ulfa pahami barusan juga berlaku di lingkungan adat saya, makanya jawaban saya begitu”

“ohhh okeeei” jawaban beliau lebih singkat dari jawaban saya sebelumnya. Hahaha ya berhubung magelangan kita udah siap santap, diskusi mlimpir kita sudahi dulu. Ehe

“eh trus mba” eh saya fikir dengan jawaban singkat beliau diskusi ala-ala kita udahan, ternyata Cuma iklan. “calon suami mba tuh gimana sih pengennya? Secara, biasanya nih orang-orang yang berperawakan seperti mba, ada beberapa list yang pakem banget dalam menentukan calon pasangan kan ya? Trus, kalau misalnya mba nya menjalani ta’aruf atau dijodohin gitu sama orang tua atau sama kiyai atau sama siapapun, harusnya gimana?”

“lah, bentar-bentar, emang saya orangnya gimana, perawakan seperti saya? Saya berbeda ta? Mba mau ngejodohin saya ta? ” hahahaha tawa kami pecah. Magelangan kami habis, adzan pun berkumandang dari masjid Ash-Siddiqi ujung jalan sana. Kami akhiri makan siang dan perjumpaan kami siang itu, beliau ada urusan sedikit ke kampus, dan saya langsung balik ke kos-kosan. Saya tak langsung menjawab pertanyaan beliau, karena saya rasa memang jawaban adalah jawaban yang sudah saya diskusikan dengan hati dan fikiran saya. Dan memang, bukan satu dua kali pertanyaan itu tertuju pada saya, dan saya selalu tak tahu mau menjawab apa. Karena saat itu saya memang belum sempat mendiskusikan “the true desire”.

Sampai pada akhir, saya diburu pertanyaan itu oleh orangtua saya. Sontak, nafas saya menjadi tidak beraturan. Jantung saya memompa darah laju sekali. “memangnya kenapa buk?” Tanyaku.  Bukan apa-apa, kamu sudah harus memikirkan itu. Jangan kuliah terus, pilih yang benar-benar, jangan sembarangan. Lihat itu ditivi-tivi banyaaaak yang aneh-aneh lah keluarganya, gara-gara itu, salah pilih” Jawabnya dari ujung telfon. Saya tidak tau apa dasar orangtua saya bertanya tiba-tiba seperti itu, memang saya putri satu-satunya dari keluarga ini, mungkin mereka tak ingin saya salah memilih, seperti kisah-kisah sinetron yang setiap siang selalu ibuk tonton.  “iya, nantik yah buk.” Telfon kami akhiri. Sudah larut.

Malam itu, menjadi malam yang cukup berat bagi saya. Siang dan malam seakan saling bersambut tanya yang sama. Ditambah, beberapa waktu lalu, Mba Rina pernah memberi wejangan untukku sebelum menikah seakan-akan dua atau tiga bulan lagi aku akan menikah. Ya Tuhan. Kuliahku belum selesai. Plis. Wkwkwkw

Sebelum tidur, menunggu kantuk saya berselancar di timeline instagram, dan entah kenapa semesta seakan memberi jawaban kepada saya, dari laman akun instagram salah seorang penulis, Mba Riri Abdillah menuliskan tips memilih pasangan di caption postingannya.  Katanya “memang, standar setiap orang itu berbeda-beda. Itu juga dipengaruhi oleh status sosial atau bahkan pendidikan seseorang, tapi jangan termakan oleh egomu sendiri. Setelah berumah tangga nanti, kita akan benar-benar sadar bahwa cakep aja gak cukup, mapan juga gak bakalan cukup, cakep bisa pudar coih, kekayaan juga bisa ilang, roda pasti akan berputar dan seterusnya. Bisa aja yang kaya raya Cuma orangtuanya, atau ditinggalkan dengan harta warisan yang uwah banget, tapi karakter dan mentalnya manja banget, sehingga hanya terbiasa meminta tanpa berusaha.” Yah. Saya butuh yang berkarakter bukan lembek” hati saya menjawab alinie pertama postingan Mba Riri.

“kita akan sadar bahwa yang jauh lebih penting dari itu adalah solih dan bertanggungjawab. Kosholihan akan menuntun kita pada Allah, mengingatkan dan meluruskan jalan kita. Akhlaknya kepada isterinya akan sangat dijaga. Tanggung jawab itu artinya, dia siap berupaya sekuat tenaga mencukupi kebutuhan kita dan anak-anak nantinya. Juga senantiasa melindungi dan berkorban untuk keluarganya.” Ihhh bener banget yah, saya semakin menyelami caption beliau. “sholih bisa dilihat dari ibadahnya, dimana dia dijam-jam waktu sholat, bolong-bolong atau rajin ibadahnya. Akhlaknya seperti sama sahabat, saudara dan kedua orangtuanya sangat ia jaga.” Pas Mantab. “it’s the true desire” kataku.

Tulisan ini saya buat secara sengaja dengan mangamati lingkungan kehidupan penulis sendiri dan berbagai sumber dari pengalaman sekitar. Postingan ini juga tidak pure/mutlak berasal dari sudut pandang penulis, tapi dari sudut pandang perempuan secara umum. Selamat memecahkan teka-teki dari Maha Pecinta. Allahumasholli’alaMuhammad..//yul

Syarat ke-KUA Apa Saja, yah?

Syarat ke-KUA Apa Saja, yah?

Oh okei. Segala prepare mulai dari vanue sampai ke katering (eksternal) so far udah ada yang handle secara mateng. Lalu, Apa ? Ya. Pernikahan harus dicatatkan. Perlu sama-sama kita pahami, bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dipertegas pula  oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan jelas banget mengatur bahwa perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini Instansi Kantor Urusan Agama atau KUA. Dan sama-sama harus kita wanti-wanti adalah sekiranya perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (Nikah Sirri)  dipandang ilegal dan tidak formal di mata hukum. Pernikahan yang tidak tercatat akan merugikan bagi pasangan itu sendiri, karena banyaknya kemudharatan yang ditimbulkannya, seperti merugikan secara administrasi negara. Banyak hal yang tidak dapat diurus ketika seseorang yang pernikahannya tidak dicatat, seperti pengurusan akta kelahiran anak, bukti kepemilikan hak sebagai suami istri dan lain sebagainya. Serem gak tuh? Cari Aman Aja dah.

Nah, Berikut kita kupas syarat apa saja yang perlu dipersiapkan untuk mendaftarkan perkawinan kita ke Kantor Urusan Agama Setempat:

  1. Syarat Administrasi

Calon suami, calon istri, wali atau wakilnya datang ke KUA untuk menyampaikan permohonan kehendak nikah atau mendaftar dengan membawa persyaratan-persyaratan:

  1. Surat Keterangan untuk menikah (blangko model N.1)
  2. Surat Keterangan asal usul calon mempelai (blangko model N.2)
  3. Surat Persetujuan kedua calon mempelai (blangko model N.3)
  4. Surat Keterangan tentang orang tua (blangko model N.4)
  5. Surat izin orang tua bagi calon suami dan calon istri yang umurnya belum mencapai 21 tahun   (blangko model N.5)
  6. Surat permohonan kehendak nikah (blangko model N.7)
  7. Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum berumur 16 tahun.
  8. Foto Kopi Akta Kelahiran/Surat keterangan kelahiran calon mempelai
  9. Foto kopi KTP/surat kependudukan calon mempelai dan wali
  10. Pas foto 2×3 berwarna biru masing-masing 4 lembar dan

4×6 masing-masing 1 lembar.

  1. Foto Kopi Kartu Keluarga calon mempelai
  2. Foto Kopi Ijazah SD/SMP/SMA (jika punya)
  3. Surat keterangan sehat dari Dokter.
  4. Foto Kopi buku nikah orang tua kandung calon istri apabila calon istri anak pertama.  
  1. Waktu Pendaftaran

Nah, ini tidak kalah penting dari syarat-syarat di atas, perlu di catat bahwa waktu untuk mendaftarkan kelengkapan persyaratan pencatatan pernikahan paling lambat dilakukan 10 hari kerja sebelum hari H (pelaksanaan nikah). Dan apabila kurang dari 10 hari kerja maka harus mendapatkan Izin/Rekomendasi dari Camat tempat akan dilaksanakannya percepatan pernikahan. Paham Yaaaaaah ?

Udah deh, Kelengkapan persyaratan selesai, dan berkas sudah didaftarkan sebagaimana waktu tertera. Selanjutnya kita akan mengikuti rangkaian demi rangkaian yang telah ditetapkan oleh KUA untuk di…… hmmm kita kupas di pertemuan selanjutnya aja yah. Pantengin terus www.bekalpengantin.com kamu.

 

9 Tips Menciptakan Rumah Tangga Harmonis

9 Tips Menciptakan Rumah Tangga Harmonis

Setiap akhwat tentu menginginkan agar memiliki rumah tangga yang harmonis di kehidupannya. Namun bagaimana menjadikan kehidupan rumah tangga harmonis sendiri tidaklah sulit jika kita sungguh-sungguh ingin mewujudkannya. Dalam bersatunya dua insan yang tidak ada hubungan darah dan di ikat dalam tali pernikahan tentu akan menimbulkan berbagai persoalan. Apalagi ketika kita ditemukan oleh sang imam dalam waktu perkenalan yang singkat. Mengenalnya lebih jauh akan menjadi tantangan bagi akhwat untuk bisa mewujudkan cita-cita membangun keluarga sakinah mawaddah dan warahmah tersebut.

Goresan kata-kata ini ditulis bukan untuk menggurui akhwat semua bahwa membangun rumah tangga harmonis itu  sangat mudah, Tidak! tidak ada niat sama sekali. Tetapi coretan ini sedikit memberi gambaran kepada akhwat bahwa orang yang dulu asing dan sekarang menjadi penaggung jawabmu dunia akhirat itu adalah orang yang sangat penting untuk di bahagiakan. Sedikit tips sederhana yang membuat kehidupan berumah tanggamu menjadi terasa seperti istana yang bermandikan barakah, insyaAllah Salah satunya:

Yang pertama: Jangan menyimpan keraguan saat menjelang pernikahan. Loh maksudnya? Begini akhwat yang sholehah sebelum memutuskan menerima lamaran tidak haram hukumnya bagimu untuk berfikir terlebih dahulu. Mempelajari karakternya dengan mengenalnya lebih jauh. Jika ada rasa was-wasmu dalam menerimanya karena masa lalunya yang buruk, kamu berhak bertanya tentangnya pada orang terdekatnya, temannya dan tetangganya. Istikharah dan meminta waktu berfikir (namun tidak berlebihan).  Jika kekhawatiranmu tetap tidak kunjung mereda, kamu boleh mengajukan syarat sebelum pernikahan. Seperti yang dilakukan oleh Anna Althafunnisa sebelum dinikahi Furqon dalam film Ketika Cinta Bertasbih maka itu tidaklah dilarang (hanya mengambil ilmunya).

Yang kedua: Lakukan hal-hal sepele untuk niat memuliakan suami dengan buang semua rasa gengsi (manjakan suami). Memberikan kebahagiaan kepada suami tidak perlu hal-hal yang mewah. Coba lakukan hal mudah seperti mencuci kakinya ketika dia pulang bekerja. Apapun pekerjaanya, cuci kakinya sebelum dia ingin tidur. Beri sedikit rempah dan esensial pengharum. Jika logika dan harga diri yang bicara tentu akhwat akan berfikir kegiatan ini adalah sesuatu yang sepele dan membuat seolah-olah suami adalah raja? Lalu memijatnya walau kamu sendiri juga lelah. Tidak akhwatku, memuliakannya tidak akan menghinakanmu. Yakinlah!.

Yang ketiga: Pahamilah mood suamimu. Adakalanya kita sendiri juga harus peka terhadap keadaan hatinya. Ketika wajahnya sudah menyiratkan lelah walau ditutup dengan senyuman tapi percayalah kamu pasti mengetahuinya dengan indera hatimu. Jika kamu tau dia sedang lelah jangan ajak dia bercerita lebih banyak, apalagi mengadukan sekian banyak permasalahanmu sepanjang hari padanya. Memang kodrat “cerewet dan banyak berbicara” pada kaum hawa itu sudah lumrah. Ingatlah perasaanmu juga harus mengerti kadang suami juga butuh ruang untuk sendiri. Dia bukan tidak ingin memberitahumu tentang suasana hatinya apalagi melarangmu berkisah panjang lebar dengannya.yang ditakutkan ketika dia jenuh dan kesal dia bisa melontarkan kalimat sederhana yang mungkin bisa jadi mengesalkan perasaanmu. So peka dan mengalah tidak sepenuhnya tugas suami ya…! pembaca akhwatku yang sholehah.

Yang keempat: Sesekali berilah dia kejutan dengan mengabulkan keinginannya dengan cara yang manis. Ketika ada hari spesial atau kamu sendiri yang ingin mengistimewakan suatu moment berilah dia Hadiah dengan sesuatu yang mungkin sangat dia inginkan. Jadi sebelum moment indah itu ada berarti rasa pengertianmu harus ada di taraf tertinggi. Mencari tahu apa yang sedang dia inginkan (selagi dalam garis baik dan halal di mata syariah). Walau mungkin itu berupa benda mahal, bukan berarti kamu akan enggan melakukan pengorbanan. Jadi, kepo nya boleh lah yaa kalau demi kebaikan seperti ini.

Yang kelima: Ketika terjadi perselisihan, terlepas siapapun yang benar meminta maaf tidak akan membuat harga dirimu terluka. Menjaga rumah tangga membutuhkan hati yang lapang. Ingat-ingat kembali kebaikannya, ingat kembali pengorbanan dan jasa besarnya. Saat bertebaran kaum adam di muka bumi berani mengatakanmu indah, tapi dia memberanikan diri tidak hanya ucapan kata tapi dengan khitbah. Saat yang lain hanya berani memuji dia malah berani datang pada ayahmu menghadap diri. Jangan malu meminta maafnya, walau kamu tidak salah. Fikirkanlah, apa bisa kamu memejamkan mata ketika hatinya tidak redha dengan permasalah yang sedang terjadi? Bujuklah dia dengan kata lembut. Senangkan hatinya dan buatlah dia rindu akan rumah sehingga dia tidak akan memikirkan tempat lain untuk singgah demi kita yang berani berjuang membuatnya bahagia.

Yang keenam: Jangan jadi wanita yang egois. Akhwat yang baik,  mungkin suamimu sudah mengambil tanggung jawabmu secara penuh. Namun dia bukan milikmu seutuhnya. Dia punya wanita lain yang juga butuh perhatiannya. Cinta pertamanya, ibunya. Jangan memonopoli suami untuk dirimu sendiri. Jangan mencurigainya saat dia memberimu hanya secukup nafkah. Ibunya juga butuh biaya untuk hidup, atau mungkin adiknya juga membutuhkan bantuan kakaknya untuk sekolah. Jadi bijaklah dalam masalah sensitif ini, karena lelaki hebat itu sudah mau bersaksi pada Allah akan kehidupanmu. Bantu dia menepati tanggung jawab itu dengan menjadi istri yang tangguh dan tidak mengeluh.

Yang ketujuh: Membimbing kepada Allah memang tugas suami. Tapi mengingatkan pada Allah juga tugas istri. Ajak suami untuk berjamaah di kala sunnah, dan melangkah bersama ke Masjid di waktu fardhu. Minta dibimbing membaca Kalam Allah, dzikir, puasa sunnah, dhuha dan sebagainya.

Yang kedelapan: Siapkanlah waktu minimal satu jam sehari untuk berbincang dari hati ke hati. Komunikasi adalah hal yang penting untuk keberlangsungan rumah tangga. Jadi luangkanlah waktu misalnya pagi saat santai meminum teh atau sebelum tidur untuk saling berbagi cerita. Berbagi masalah satu sama lain atau setidaknya hal lain yang terlepas dari gadget aatau alat elektronik lainnya. Insyaallah semua akan menunjang kebahagiaan dan rasa percaya pada pasangan atau anggota keluarga.

Yang terakhir: Pahamilah makna menjadi istri yang sebenarnya. Istri tidak hanya sekedar gelar bahwa kamu bukan milik orang tua saja. Tapi makna istri itu sangatlah banyak. Salah satunya bagi penulis bahwa istri adalah sebuah orde baru kehidupan wanita yang memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar. Seperti terhadap suami, ia adalah orang Asing yang baru kita kenal, yang jauh dari kata sempurna dan bisa memahami kita seperti keluarga yang sudah bersama kita disepanjang hidup. Menjadi mahkota yang harus memelihara kehormatan suami seharusnya kita bisa bangga bahwa imam ini menjemput kita dengan segala keberanian dan mau menanggung dosa dan konsekuensi syurga neraka hanya demi mengambil alih tugas ayah kita. Jangan pernah coba meremehkan bahwa menjadi istri itu hanya sekedar tanggung jawab pada suami saja, clear tugasmu selesai. Maaf akhwatku, tidak seringan itu. Dengan menikah dengannya, maka kini ibumu bertambah satu, ayah yang menyayangimu juga kini sudah tidak juga sendiri. Adikmu yang harus kamu sayangi tidak lagi yang selalu kamu jahili kemarin, dan kakak yang jadi tempatmu menaruh hormat tidak lagi hanya itu. Fix itu berat dan itu butuh kesungguhan hati menerima keluarga baru dengan karakter yang juga rahasia bagi kehidupanmu.

Cukup sekian catatan tentang Tips Rumah Tangga Harmonis kali. semoga artikel ini bisa membantu meningkatkan pengetahuan akhwat pembaca semua. Terima kasih, Wassalamualaikum//morioktavia

Para Suami, Beri “pupuk” Ini Untuk Merawat Cinta Isteri.

Para Suami, Beri “pupuk” Ini Untuk Merawat Cinta Isteri.

Bunga, akan layu gugur dan mati jika tidak dirawat dengan penuh perhatian. Pun dengan perasaan cinta dan kasih diantara dua insan bernama sepasang kekasih (suami isteri). Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, tidak ada pasangan yang ingin melunturkan perasaan cinta dari pasangannya setelah bertahun-tahun usia perkawinan. Karena sungguh yang paling mahal di dunia ini hanyalah ketulusan dan kesetiaan. Itulah skenario kehidupan. Indah kelihatan, bagaikan indahnya bulan purnama. Begitupula hendaknya hingga hari tua, dimana cinta terus dirawat, dan keharmonisannya dipupuk dengan tulus ikhlas sehingga rumah tangga benar bertamankan syurga, bermandikan berkah saban hari.

Isteri, fitrahnya perempuan ianya selalu ingin diprioritaskan dari apapun. Perasaanya yang cenderung mendominasi membuat ia begitu perasa dan selalu ingin diperhatikan oleh pasangannya. Para paksu, berikut nih isi hati isteri yang seharusnya paksu ketahui untuk mewujudkan keharmonisan sampai hari tua nanti.

  1. Tunjukkan rasa sayang terhadap isteri, baik melalui kata-kata maupun perbuatan seperti pelukan, misalnya.
  2. Jauhi ucapan yang menyinggung perasaan isteri, sekalipun dalam rumah tangga.
  3. Apabila dalam keadaan marah yang amat sangat, berusahalah mengontrol diri. Beristghfar dan bersalawat serta berwudhu. Ingalah segala kenangan manis dan pahami bahwa isteri memerlukan bimbingan suami dan pahami bahwa tiada orang yang tidak melakukan kesilapan.
  4. Apabila timbul rasa bosan ataupun jenmu terhadap isteri, cobalah ulangi kembali masa-masa manis dulu atau ajaklah isteri keluar makan di tempat yang agak istimewa ataupun berwisata ke tempat-tempat yang indah
  5. Jangan pernah merendahkan isteri didepan orang lain
  6. Jangan memuji perempuan lain di depan maupun dibelakang isteri
  7. Hargai dan berilah pujian atas pengorbanan isteri
  8. Bantulah isteri dalam pekerjaannya seperti memasak, membereskan rumah dan sebagainya.
  9. Cobalah pahami keadaan dan masalah isteri dengan mempertimbangkan perasaan dan kesehatan isteri ketika ia sedang haid dan hamil
  • Bimbinglah isteri dalam melakukan sesuatu agar ia semakin bersemangat dan termotivasi.
  • Bantulah istri dalam melakukan kebaikan dan ibadah
  • Berdoalah agar hati dan perasaannya senantiasa patuh kepada Allah dan hormat kepada suaminya.

InsyaaAllah.. Cinta yang didasari karena kecintaan kepada Pencipta akan tumbuh dan berkembang selayaknya bunga yang disirami pupuk setiap hari. Merekah dan berkah.//yul

Wedding Planner: Tabungan Masa Depan

Wedding Planner: Tabungan Masa Depan

Menikah ? Apa yang ada dibenak kamu? Bahagia ? tentu saja. Ada yang menemai ? Tak dipungkiri. Sudah berada pada fase “its your time to married” adalah satu moment yang ditunggu-tunggu dua insan yang sudah berikhtiar pada penantian indah menjemput cinta. Ibarat kata, telah berhasil menyelesaikan teka-teki percintaan yang telah di susun secara dramatisir oleh Tuhan yang Maha Cinta. Overall memang idealisnya pernikahan adalah penyempurnaan keyakinan pada keMaha Besaran Tuhan yang lainnya. Bernilai ibadah, bertujukan surga dan ridhoNya. Tapi. Tidak sedikit hal-hal yang juga memberatkan kepala, menghilangkan selera makan, menjadikan nyenyak tidurpun tiada. Biaya untuk menikah. Iya. Mehong tiada tara.

Memang, bagi sebahagian orang biaya untuk melangsungkan resepsi pernikahan bukanlah satu hal yang rumit, karena memiliki sokongan finansial yang memadai dari keluarga, harta warisan yang bergepok-gepok tak berbilang dan prepare yang sudah dilakukan sejak memulai komitmen dengan pasangan. Namun, menjadi sesuatu yang juga menjadi penghambat pernikahan bagi mereka yang mengandalkan sisihan gaji bulan demi bulan untuk mewujudkan wedding dreams sang pujaan. Karena sebahagian lainnya enggan mempergunakan dana orangtua untuk merealisasikan kebahagian yang seharusnya sudah mampu ia emban dengan sendirinya. Sehingga, pernikahan yang menjadi impian pujaan dengan mengenakan tema-tema pernikahan dari belahan dunia menjadi alakadar. Pun dengan penghidupan setelah resepsi pernikahan, menjadi list baru bila tidak direncanakan dengan baik sebelum memutuskan untuk meminang pujaan hati.

Lalu, bagaimana ?

Mempersiapkan biaya pernikahan dengan pasangan solusinya. Bila kamu dan pasangan sudah memiliki pekerjaan atau berpenghasilan, sisihkan pendapatan bulanan masing-masing dan gabungkan atas nama biaya pernikahan. Kalian bisa menyebutnya dengan tabungan masa depan. Hihi lebay sih. Tapi ini prepare yang mateng banget. Itu satu. Kemudian, kalian juga harus memastikan semua anggaran yang harus dipersiapkan untuk mewujudkan wedding dreams dan biaya penghidupan setelahnya.  Woooo masa depan banget doooong.

Karena. Segala sesuatu tanpa perencanaan yang matang akan keblenger. Karena prepare yang matang merupakan satu bentuk hal sederhana namun bernilai pertanggungjawaban yang luhur. Simak lanjutan Wedding Planer Bekal Pengantin lainnya, yah. Semoga Allah mudahkan niatan baik kamu yang tengah mempersiapkan wedding dreams penuh barokah. Aamiin//yul